Diresensi oleh : *Radja Sinaga
Judul : Membunuh Hantu-Hantu Patriarki
Penulis : Dea Safira
Penerbit : Jalan Baru
Edisi : Cetakan Pertama, April 2019
Tebal : x + 196 halaman
ISBN : 978-602-51498-9-4
Hampir, bahkan agaknya menyeluruh, di sepanjang kehidupan manusia bahwa membunuh merupakan hal tabu. Seperti yang diyakini sehabis membunuh tulah bertamu. Tak mengelak, seluruh negara di dunia hingga membuat regulasi yang pelik untuk mengurusi polemik-polemik terkait membunuh. Bahkan juga, dalam Alkitab sendiri tertulis secara jelas bahwa membunuh merupakan tindakan terlarang ( Keluaran 20: 13). Kecuali bagi kaum viking pada zaman kolonial abad pertengahan ke-11. Menurut keyakinan mereka, membunuh adalah jalan viking menuju Ragnarok untuk bertempur di akhir dunia nanti. Serta menjadikan mereka sebagai pria berbangsa Nordik sejati. Mencabut nyawa adalah jalan kesatria!
Tetapi hal-hal itu tak berlaku pada tulisan Dea Safira yang berjudul Membunuh Hantu-Hantu Patriarki. Di buku ini kegiatan membunuh seolah-olah patut diperjuangkan dan segera direalisasikan. Dan meyakinkan membunuh tak serta-merta menggunakan senjata tajam, seperti pedang atau busur, bisa juga menorehkan hitam di atas putihnya kertas, begitu? Namun bagaimana bisa membunuh sebuah hantu? Bukankah hantu adalah bentuk akhir daripada yang tak lagi bernyawa?
Penggunaan diksi “hantu-hantu” pada judulnya mewartakan sebenarnya yang lebih berbahaya ialah hantu ketimbang manusia perihal membunuh. Serta “hantu-hantu” ini pula menegaskan untuk orang yang masih muluk-muluk mengedepankan patriarki dan misoginis dalam pelbagai kegiatan hajat orang banyak.
Sebagaimana seorang penulis, dan melihat hipotesis yang acapkali mengelilingi mereka—orang-orang yang mengukur buku dari unsur intrinsik alias bentuk luar. Penulis haruslah mampu menorehkan judul yang ciamik guna menggubah rasa pembaca karbitan untuk membaca tulisannya. Terlepas dari kegetiran sudut pandang pembaca di negeri ini. Sejatinya buku ini menargetkan pembaca dan dibaca lebih dominan oleh kalangan wanita. Nyatanya?
Di buku ini Dea Safira—selanjutnya Dea—agaknya menekankan pada pemberontakan serta pandangan feminisme untuk wanita-wanita yang selama ini masih terjajah oleh paham-paham kuno yang dibangun oleh patriarki dan orang-orang yang pemuja misoginis (mengambil istilah Dea).
Dea mengoordinasikan buku ini menjadi tiga elemen. Bermula dari bagian pertama; Pemikiran Perempuan. Dalam bagian ini tentunya Dea menjadikannya sapaan terhadap pembaca. Di awal sub bagian secara bernas Dea amat antusias membuka secara perlahan mengenai apa yang hendak ia utarakan dalam buku ini. Terlihat pada sub bagian kedua bahwa Dea menjelaskan pemikiran perempuan sejatinya telah ada luhur sekali semasa kolonial berkutat di negeri ini. Seperti yang kita ketahui pada era itu sebenarnya feminisme telah berkembang, yang kini kita sebut sebagai emansipasi. Tetapi pada era itu, emansipasi tergolong sedikit
Di sub bagian ini pula Dea secara tak langsung memberikan sedikit historis andil wanita dalam kemajuan peradaban bangsa ini. Kalau kamu jalan-jalan atau melintas Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, mungkin kalian akan melihat sebuah terminal bus yang begitu apik, namanya Terminal Gayatri. Nama Gayatri merupakan nama istri Raden Wijaya; Gayatri Rajapatni (hal. 7). Namun setelah awal-awal bagian sub bagian pada bagian pertama terlihat amat kentara penurunan Dea dalam membangun kata-kata untuk membuat gerakan “membunuh” ini terlihat elegan serta pedagogis.
Lantas berlanjut ke bagian kedua: Membangun Cinta Setara. Dea, sekali lagi, dalam hal ini terlihat menuliskan sesuatu yang sama namun hanya penambahan sedikit di awal setiap sub bagiannya serta mengubah judul agar terlihat berwarna. Di bagian ini, Dea agaknya ingin mengedepankan bagaimana cinta yang seharusnya. Cinta yang tak tumpang-tindih. Namun dalam penyusunannya, Dea seperti kehilangan jiwa. Tulisannya bersifat pasif, tak bergerak, dan membuat pembaca bosan. Atau pula dapat dikatakan, pada bagian ini Dea terkesan membuat kehilangan sisi “membunuhnya”. Dan seolah-olah bagian ini hanya disertakan untuk menambah tebal bukunya agar lebih mudah dicetak.
Dan kemudian bagian ketiga, yang mana bagian inti dari segala pembunuh ini: Membunuh Hantu-Hantu Patriarki. Dapat dikatakan hanya pada bagian inilah Dea benar-benar etos mengungkapkan hal-hal yang sering terjadi pada wanita, dapat dikatakan pelecehan atau langkah reaksioner akan hak-hak dan keamanan wanita. Seperti sub bagian kedua: Narasi Misoginis Media, Dea menunjukkan kekesalan dan kekeliruan pemberitaan yang dibuat oleh media-media saat menyoroti polemik bagaimana seorang reporter dalam membangun narasinya untuk menceritakan bahwa seharusnya korban (perempuan) harus didukung menggunakan narasi.
Atau pula sub bagian kesebelas: Teror Dosa, membahas bagaimana kekolotan seorang yang misoginis atau patriarki menganggap bahwa tutur pakaian wanita ialah biang pembuat dosa pada lelaki. Yang mereka yakini (kaum patriarki dan misoginis) seharusnya wanita tak menggunakan pakaian terbuka. Menggunakan pakaian yang tak mengundang syahwat atau tindakan asusila lelaki. Lagi pula, jika memang perempuan berpakaian mini adalah penebar teror dosa kepada laki-laki, lantas bagaimana dengan laki-laki yang menebar rasa takut kepada perempuan di jalanan setiap hari? Apa itu bukan teror? (hal. 171)
Namun, disayangkan, buku ini tak dapat dikatakan cukup berhasil sebagai penggerak. Sebab sebagaimana pertama kali buku ini dipasarkan dalam katalog budaya-sosial, yang sejatinya haruslah bernas dan kentara mengupas polemik yang menjamur tanpa tersisa tak terealisasikan secara konkret.
Dari segi isi dan kepenulisan Dea tak bisa membuat buku-buku ini menjadi sarana membunuh yang sempurna, terlebih pada bagian awal dan pertengahan. Sebab bisa dikatakan buku ini hanya menyimpan bagian bernas pada akhir. Pula terlihat bahwa adanya kesulitan Dea untuk mencari sekat-sekat yang mampu menjadi peluang membunuh menggunakan narasi. Serta kurangnya mekanisme peletakan data faktual pada sub bagian di setiap bagiannya. Lalu pula banyaknya pengulangan inti dari setiap masalah di beberapa sub bagian yang ada. Dan kosongnya kepaduan dan kepadatan paragraf di setiap sub-sub bagian yang ada.
Kendati pun begitu, adalah keberanian yang patut diberi pada Dea, ketika perempuan lain masih berkutat pada hal-hal tetek bengek saja dan tak pernah sesekali mencampuri sesama gendernya yang kini makin tergopoh dan terperdaya akan patriarki dan misoginis, sedang Dea berani keluar dari dekapan itu dan meluluhlantakkan melalui kata-kata. Juga selaras dengan Christian Smith (2003: 78) menuliskan bahwa dengan menceritakan sebuah kisah berarti mendefinisikan siapa kita sebagai manusia, untuk apa kita di sini, bagaimana kita harus hidup, apa yang baik dan buruk, benar dan salah, adil dan tidak adil, adil dan tidak layak, layak dan tidak layak, makna yang ada dalam skema realitas yang lebih besar dalam kehidupan.
*Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas HKBP Nommensen Medan.
0 Komentar