Mengabadikan Suara Kritis Mural lewat Karya Fotografi


Mural sebagai karya seni kerap dijumpai di tembok-tembok kota.  Lukisan mural yang memuat beragam ekspresi, baik kritik, gagasan maupun promosi, datang silih berganti seiring berjalannya waktu.
Meski mural yang lama akan hilang dan diganti dengan mural yang baru, namun sebagian karya seni tersebut tetap bisa dinikmati melalui karya fotografi. 

Pameran fotografi bertema mural saat ini tengah berlangsung di Institute Francais Indonesia (IFI), Jakarta.  Foto-foto yang dipamerkan tersebut karya dari fotografer jurnalistik Hasiholan Siahaan XIV. Pameran bertajuk “Le Mystere de Mural” tersebut berlangsung dari 3 Mei-3 Juni 2023.

Karya foto mural tersebut antara lain menampilkan wajah sejumlah tokoh terkenal, potret kehidupan masyarakat perkotaan, hingga karya mural yang bercorak abstrak.

Hasiholan mengatakan,  karya fotografi yang mengabadikan mural di tembok dan tiang jembatan tersebut bagian dari upaya mengenalkan mural kepada generasi muda.  Di sisi lain, dia berharap mural sebagai medium ekspresi artisitik yang pada umumnya berumur cukup singkat, bisa dinikmati lebih lama karena telah terdokumentasi melalui karya fotografi.  

“Meskipun nanti mural-mural di tembok atau tiang jembatan itu sudah hilang, tapi masyarakat masih bisa melihatnya karena telah diabadikan melalui foto,” ujar fotografer senior ini, Sabtu (13/5/2023).

Sebagai bagian dari pameran ini, telah digelar diskusi di IFI pada Senin, (8/5/2023).  Diskusi bertema Mural, Seni, dan Kebebasan Berpendapat tersebut membedah sejarah mural dan tantangan yang dihadapi mural saat ini, baik karena dinamika politik kekuasaan, perkembangan kreativitas para seniman, maupun akibat perkembangan teknologi digital.

Pada diskusi tersebut, anggota Komisi B DPRD Jakarta Manuara Siahaan mengatakan,  pemerintah daerah memiliki tanggung jawab menjembatani kreativitas seniman, termasuk pemural.  Pemprov DKI  menurutnya harus menjadi fasilitator dan menyediakan regulasi yang baik agar kegiatan kesenian bisa hidup dan dinikmkati masyarakat kota.
“Saya mendukung mural baik sebagai medium penyampaian kritik maupun ekspresi jiwa dari para seniman yang ada di DKI,” ujarnya.

Dari karya seni seperti mural dia berharap itu mampu mendorong tumbuhnya perekonomian untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Misalnya, ketika lokasi pembuatan mural menjadi destinasi wisata yang menarik dan mampu menarik pengunjung, maka di situ UMKM bisa ikut merasakan dampaknya.  
“Mural harus mampu memantik ekonomi kreatif di bidang seni rupa. Kami siap memfasilitasi agar mural mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kesejahteraan pemuralnya sendiri,” ujarnya.

Sejauh ini Pemprov DKI disebutnya sudah menyediakan sejumlah kawasan di Jakarta sebagai tempat berkspresi seniman mural. Bahkan Manuara yang membidangi ekonomi kreatif di DPRD, mengaku akan mengawal anggaran untuk kegiatan mural tersebut tetap ada di APBD DKI.  

Dia berharap para seniman mampu mengorganisasi diri dengan baik dalam upaya mengembangkan mural. DPRD DKI, menurut dia, siap berkoordinasi  dengan Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Dinas Tata Ruang DKI untuk terus menemukan lokasi yang baru untuk dilukis.

“Termasuk kami akan menjamin durasi mural tersebut untuk bisa tetap ada di sana, bertahan lebih lama,” ujarnya.

Pengamat budaya Sihar Ramses Simatupang mengapresiasi langkah pemerintah dan DPRD DKI yang siap menjadi faslitator agar mural bisa hadir menjangkau wilayah perkotaan yang lebih luas. Hal tersebut diakuinya sebagai hal yang baik. Namun dia mengingatkan bahwa kebutuhan mural bukanlah sekadar pengorganisasian. Sebagai karya seni yang identik dengan kritik sosial, mural disebutnya tidak bisa hanya “duduk manis”. Lebih jauh, mural diakuinya memiliki filosofi tertentu yakni karya seni yang lahir dengan menangkap suara-suara masyarakat bawah.  Suara tersebutlah yang secara spontan diekspresikan di tembok-tembok kota oleh para seniman.

“Nah, filosofi ini jangan sampai hilang. Mural itu bagian dari wacana kebangsaan, ekspresi dari para seniman yang menangkap suara bawah sebagai counter wacana,” ujarnya.

Diskusi tersebut juga menghadirkan seniman Giri Basuki  dan Budayawan Frigidanton Agung  dan jurnalis bakti M Munir. Giri Basuki antara lain membahas tentang sejarah seni lukis, yakni diawali penemuan lukisan  di gua Altamira, Spanyol pada 1872.  Indonesia kemudian juga memiliki karya seni lukis purba yang ditemukan di gua Leang-Leang, Maros, Sulawesi Selatan yang diperkirakan memiliki usia yang lebih tua.*

Posting Komentar

0 Komentar