Razia Buku Merendahkan Kecerdasan Warga Negara

Buku Dibaca Bukan DiRazia Sumber Foto : Kover Magazine

MEDAN - Akhir Juli dan awal Agustus tahun ini, para pegiat literasi, organisasi pro-kebebasan berekspresi hingga tokoh-tokoh publik di negeri ini, menyampaikan protes atas razia buku di Yogyakarta dan Makassar yang dilakukan secara sepihak oleh orang yang tidak punya wewenang.
Khawatir akan masa depan literasi dan memperoleh hak informasi secara objektif terganggu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan bekerja sama dengan Literacy Coffee melaksanakan diskusi bertema 'Buku untuk Dibaca, Bukan Dirazia' di Jalan Jati II, Teladan, Medan Kota, Sabtu (10/8), pukul 16.00 s/d 20.00 Wib.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan Liston Damanik, praktisi hukum Ranto Sibarani, dan sejarawan Kota Medan Dian Purba, hadir sebagai narasumber.
Berbicara mengawali diskusi, Liston Damanik mengatakan, merazia dan melarang buku-buku menghambat publik untuk mendapatkan informasi, juga perbuatan melanggar yang hukum.
"Bagi kita, di AJI, memperoleh informasi publik itu adalah satu dari beberapa poin yang terus dipertahankan dan diperjuangkan AJI sejak melakukan deklarasi di Sirnagalih pada 7 Agustus 1994. Karena saat Orde Baru, hak tersebut sangat terbatas, bahkan dikekang. Sama seperti dengan kebebasan berekspresi," kata Liston Damanik.
"Sehingga razia buku dan pelarangannya sangat bertentangan dengan kebebasan berekspresi dan dalam memperoleh informasi. Kalaupun ada penarikan buku, harus mengikuti ketentuan hukum atau sesudah ada perintah dari pengadilan. Jadi, kami sangat menyayangkan razia buku yang dilakukan orang atau kelompok yang tidak berwenang," katanya.
Upaya razia dan pelarangan buku-buku yang berbau tentang komunisme dan Leninisme diyakini masih akan terus berlangsung. Karena, Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang berisi tentang pembubaran Partai Komunisme Indonesia dan larangan menyebarkan paham komunisme dan Leninisme menjadi dasar hukum untuk melakukan razia buku-buku.
Namun sangat disayangkan, peraturan tersebut dimanfaatkan oleh orang-orang ataupun kelompok untuk merazia. Terkait dengan itu Ranto Sibarani mengatakan, akhir-akhir ini yang merazia buku itu jadi bebas, liar, karena yang tidak berwenang turut melakukannya. Menurut Ranto, kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena bisa menghilangkan kesadaran kritis bangsa.
“Ia, ini kacau. Negara harus tegas terhadap kepada orang-orang yang merazia buku tanpa wewenang. Merazia buku itukan harus jelas alasannya, misalnya siapa-siapa yang dirugikan atas buku-buku tersebut, ada atau tidak. Selain itu, harus ada keahlian atau kompetensi terhadap buku-buku yang dirazia itu dan yang pasti adalah harus ada perintah dari pengadilan. Jadi, tidak asal main tarik saja,” ucap Ranto Sibarani.
“Kemudian, kita juga melihat negara tidak memberikan kesadaran kritis kepada warga, sehingga terhindar dari ketidaktahuan dan tidak bodoh. Nah, jika razia buku dan pelarangan ini tidak terjadi lagi di republik ini, maka Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang berisi tentang pembubaran Partai Komunisme Indonesia dan larangan menyebarkan paham komunisme dan Leninisme itu harus dicabut,” tegas Ranto.
Ranto juga mengatakan, suatu negara yang sangat maju, itu tidak banyak larangan soal gagasan, ide, tulisan dan buku-buku.
Tidak itu saja, proses hokum juga harus dilakukan jika masih ada oknum-oknum yang merazia buku-buku, supaya ada efek jera.
“Dalam konteks hukum, bila suatu hari teman-teman dirazia, minta surat perintah siapa yang merazia. Kalau bukan penegak hukum, teman-teman bisa melaporkannya kepihak kepolisian karena mengambil sesuatu tanpa alasan. Misalnya buku disebut kiri, tanyakan siapa yang menyebut buku itu kiri dan siapa yang menilainya,” tambahnya.
Di samping bicara aspek hukum dan hak memperoleh informasi, persoalan ini juga dipandang dari sisi sejarah. Dian Purba mengatakan, bila ada orang yang melarang membaca buku, itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dibenarkan, karena itu sama saja merendahkan kemampuan warga negara untuk memilih bacaan.
Alumni Pasca Sarjana Ilmu Sejarah Univeristas Gaja Mada Yogyakarta ini mengajak peserta diskusi untuk melihat ke belakang tentang apa yang melahirkan tokoh-tokoh bangsa sekaliber Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir dan Tan Malaka. Dian menceritakan, ketiga tokoh tersebut di masanya membaca semua buku-buku, baik itu ekstrim kanan maupun ekstrim kiri.
“Jadi, apakah memang warga negara kita bodoh, yang tidak bisa memilih bacaan, sehingga membutuhkan polisi moral untuk menilai ini kiri, ini kanan, ini berbahaya dan ini tidak?” tuturnya.
Sejak Desember 2018 hingga Agustus 2019, sudah ada empat kali razia buku yang dianggap berbau kiri, termasuk yang dilakukan aparat gabungan, TNI, Polri dan melibatkan Kejaksaan, serta masyarakat sipil.
Akhir tahun lalu terjadi di Jawa Timur, ratusan buku disita, dan awal Januari lalu, terjadi razia buku, di Padang Sumatera Barat. Kemudian, pada Juli 2019 di Probolinggo, Jatim, pegiat literasi harus berurusan dengan polisi karena membawa empat buku berisikan tentang komunisme, salah satunya buku pendiri Partai Komunis Indonesia, D.N Aidit. Dan yang terakhir dilakukan sekolompok orang merazia toko buku Gramedia karena menjual buku Karl Marx yang ditulis Romo Frans Magnis Suseno. (*)
Nomor kontak:
Ketua AJI Medan, Liston Damanik (0813 9671 2184)
Divisi Organisasi AJI Medan, Tison Pane (0812 6501 9085)

Posting Komentar

0 Komentar