DIPAKSA JUALAN

foto : Rindu Hartoni Capah



Rindu Hartoni Capah
Tetap saja perangainya seperti malaikat penolong, sok paling tahu bagaimana cara orang kampung hidup. "nanti supaya kalian bisa jualan."
Lalu alat berat eskavator merobohkan pohon-pohon. Ladang kopi kena sial. Ladang itu juga sudah ditandai menjadi jalur jalan untuk pembangunan pariwisata danau toba. Ladang kopi kena sial atas kebijakan dan nafsu penguasa yang ambisus menjalankan pembangunan. Sejak ruang hidup Sigapiton dimasuki zona otoritatif kawasan bpodt, tanaman kopi dan tumbuhan lainnya sudah mengeluh, menanti tiba saatnya akan dihancurkan. Padahal sejauh ini, dalam rentang sejarah pembukaan bius di Sigapiton, tanaman tanaman itu sudah setia memberi hidup. Tanah tanah subur menjamini orang Sigapiton berladang. Saking suburnya, dulu tebing-tebing perkampungan ditanami bawang merah hingga orang Brebes (jawa) tertarik membeli dan membawa bawang itu untuk dijadikan bibit.
Suplai air dari akar-akar pohon menjadi syarat pokok hidupnya sawah. Ada tujuh mata air yang setia mengalir, menghidupi orang orang haus. Air menjadi penanda, hingga penamaan Tano Na Maraek (tanah basah), menjadi satu kata kunci tentang jayanya pertanian padi. Kilang-kilang padi pun hidup. Sedangkan Tano Na Mahiang (tanah kering), adalah penamaan untuk ladang. Syarat paling mendasar dari hidup adalah bagaimana ruang itu bisa dihidupi dan menghidupi. Material pokok seperti air, tanah, dan energi, bersinergi dengan semangat menjaga Bius. Ia menjadi nilai, membuat orang-orang yang hidup dari situ rela sampai mati mempertahankan ruangnya. Ketiga unsur tadi memampukan ekonomi rumah tangga tetap subsiten (mampu makan tanpa beli).
Gempuran ekonomi uang selalu mengincar ruang-ruang yang bisa disinggahi kemudian dihisap dan menjadi rusak. Ekonomi global menjadikan rezim jokowi tunduk pada arus investasi. Itu menjadi kuasa perintah pada tataran birokrasinya, hingga berdampak pada orang-orang kampung . Maka menjadi logis jika program pembangunan rezim ini memaksa orang kampung untuk jualan.
Tidak ada level gerakan yang paling tinggi jika kesadaran akan ruang hidup tidak menubuh pada orang-orang yang menghuninya. Dan itulah spiritualisme gerakan. Orang Sigapiton sudah sampai pada level ini. Maka menjadi logis jika mereka punya cara cara tersendiri untuk melawan. Melawan! Tubuh perempuan telanjang menjadi kekuatan saat itu. Menegaskan sikap yang tidak bisa ditawar, bahwa tanah harus dipertahankan. "kami bisa makan tanpa jualan. Kami masih bisa hidup dari tanah kami pak. Tanah leluhur kami". Ucap Op. Casandra. "air kami nanti hilang pak" "pak jokowi, dengarlah jeritan rakyat mu ini" Bagiku, suara-suara itu tetap menjadi nada-nada orasi yang menubuh menjadi spirit gerakan pada orang Sigapiton, utamanya pada perempuannya yang rela bertelanjang untuk perlawanan yang panjang umur.
"nak jangan takut. Kita sudah melawan."

Posting Komentar

0 Komentar