Kopi Socrates dan otak saya yang menggelinjang (Bagian 2)


*Tedi Wahyudi
“Kesadaran saya, bertarung untuk menguat. Kesadaran saya, bertarung dengan badai listrik yang tengah berkecamuk di dalam otak saya. Bibir saya, bergerak mencari-cari bibir kekasih. Bibir kekasih, telah dibawa kekasih, ke kampung halamannya sendiri. Dalam tarungnya, membangun kemandirian dirinya dan bibirnya itu. Dalam tarungnya, di masa-masa transisi yang paling jeri. Menjadi Puan penguasa dirinya sendiri”
Di luar hujan menderas. Bunyi bulirnya yang pecah di atap warung kopi itu, mengeras. Saya sudah kembali duduk di ruang depan, di antara kawan-kawan saya, yang sudah beralih sub topik perbincangan dari pemeran utama mana yang lebih cantik ke pembahasan ide-ide cerita dalam film. Saya mendengarkan dengan senang yang senang. Otak saya, sudah asik dengan dirinya sendiri, saya curiga dia (otak saya-pen) sedang tidur dengan cara dan gayanya sendiri. Disaat-saat tidurnya itu, maka otak saya, dapat menjadi alat perekam yang tidak bandal (tentu saja setelah berkonspirasi dengan telinga saya).
The Cargo, judul film yang jadi pembahasan di perbincangan itu. Saya mendengarkan dengan seksama, penjelasan kawan-kawan saya. Ada perdebatan yang cukup menyenangkan, tatkala perbedaan pandang mengenai film itu mencuat. Sebahagian mengatakan film itu keren, sebahagian yang lain, mengatakan sebaliknya.
Di luar hujan kian menderas. Bunyi bulirnya yang pecah di atap warung kopi itu, kian mengeras. Volume bunyi bulir air hujan yang pecah di atap, dengan yang pecah di lantai teras halaman, berbeda-beda.
“Apakah perbedaan volume bunyi pecah dari bulir-bulir hujan itu, adalah bentuk argumentasi bulir-bulir hujan, dalam menentukan besaran volume mana, yang ‘benar’? Apakah bulir-bulir hujan yang pecah di atap warung kopi itu, berupaya mencari dukungan dari bulir-bulir hujan yang pecah aspal jalan, atau yang pecah di daun pohon belimbing, agar volume bunyinya yangditetapkan sebagai yang ‘benar’?” Apakah soal pencarian kebenaran lewat kontestasi wacana, adalah tentang menang kalah dan salah benar? Apakah warna, hanya hitam dan putih saja adanya? Otak saya, kembali terbangun lalu bergumam.
“Tak, kita tidak dapat menjangkau kedalaman dan keluasan partikel-partikel yang menyusun satu bulir air hujan. Batasan pengetahuan kita akan bulir hujan itu, hanyalah sampai pada simbol H2O saja, tak lebih. Pun bila engkau memaksa Tak, data yang ada padamu, hanya sampai pada satu hidrogen dan dua oksigen.  Selebihnya, kau akan terjebak pada lingkaran asumsi yang tak berdasar, dan engkau sayangku, bila telah terjebak pada lingkaran asumsi yang tidak terjamin faktualitasnya, akan ‘mengada-ada’ pada akhirnya. Engkau, akan menaut pautkandata-data yang kau miliki, yang kau rasa tepat tetapi sebenarnya tidak. Seumpama, kau akan menggali data yang berkaitan dengan unsur fisik bulir hujan serta susunan kimia dasarnya, sayangnya di dua ranah itu, kau tidak memiliki data apa-apa, engkau hanya pernah merekam data mengenai bagaimana entropi dapat memengaruhi struktur fisik dan ikatan kovalen dalam partikel. Data itupun, kau tafsir dari sebuah buku, yang diperkenalkan oleh mata. Oleh karenanya, tafsir data itu, telah mengecil dari keluasan makna yang terkandung di balik simbol-simbolnya. Maka, akan terdapat banyak rangkaian kosong dari struktur logis yang engkau bangun, tatkala menelaah soal bulir hujan, apalagi tentang pikiran manusia yang kompleks bin multi dinamis, seumpama perebutan pengakuan dalam kontestasi wacana. Rangkaian kosong itu, kemudian akan kau isi dengan sekedar asumsi agar engkau dapat terus mempertahankan proses kerjamu. Semisal engkau akan mengisi rangkaian kosong itu, dengan informasi tentang ikatan kovalen yang ada, padahal engkau tidak dapat memastikan keterkaitan antara ikatan kovalen dengan bulir hujan. Lalu, alih-alih berkata tidak tahu, malah engkau akan membangun rangkaian asumsi yang asumsi, sebagai pijakan rangkaian kerja mu. Oleh karenanya, engkau akan membangun ‘argumentasi cocokologis’. Apabila kau memaksa menggunakan mulut untuk mem-verba-kannya, maka selanjutnya, kau akan membangun ‘ego’ demi mempertahankan keberadaanmu. Sebab kita ini, makhluk yang haus akan eksistensi, haus untuk diakui dan mengakui.Selanjutnya Tak, engkau pun memasang ‘blok’ atas pandangan orang lain yang tidak menyetujuimu. Akhirnya, engkau akan lelah, terjebak dalam lingkaran asumsi yang asumsi, asumsi yang dicukup padankan pada sebatas asumsi saja.Saya pun, boleh jadi ‘mati lelah’ bertarung di sisimu.”
Pemilik warung kopi tampak berjalan menghampiri meja. Tangannya memegang nampan plastik. Di atas nampan itu, kopi pesanan saya, berdiam di dalam gelas. Gelasnya, sama dengan gelas Kopi Socrates.
“Kopi Marhia Ohzawa, Silahkan di nikmati” Pemilik warung kopi itu, meletakkan gelas kopi di atas meja, tepat disamping teh susu setengah gelas yang saya pesan sebelumnya. Pemilik warung kopi itu, kemudian kembali ke singgasananya, meja bar di dapur.
“Marhia Ohzawa? Anjirr.. hahahaha” seorang kawan, terkesima mendengar nama kopi pesanan saya.
“Loh, kok bisa ada kopi Marhia Ohzawa, kan nggak ada di menu?” kawan lainnya kebingungan.
Seorang kawan lainnya, bersebab dorongan rasa penasarannya, mencicipi kopi pesanan saya “Bah, samanya rasanya sama kopi socrates, apanya yang beda?”
Giliran saya tertawa lepas, setelah mendengar respon balik yang berbeda-beda dari kawan-kawan saya. Perbincangan, seketika beralih kepada nama-nama yang berdekatan dengan nama kopi yang saya pesan. Kali ini, otak saya, begitu lancar menautkan nama-nama yang mereka sebutkan, dengan data-data yang tersimpan di dalamnya (otak saya-pen)
Di luar, hujan mereda. Bunyi bulirnya yang pecah di atap warung kopi itu, mengecil. Hujan, merintik. Keinginan untuk bersegera pulang, menggelitik. Tetapi urung, sebab perbincangan kembali ke film The Cargo. Perdebatan kembali mencuat.
“Bagaimana menurutmu bro?” seorang kawan memicu. Otak saya, sontak menggelinjang, ia (otak saya-pen) mengaktifkan proses produksi lebih banyak biokimia tertentu, di dalam tubuh saya. Ekstase akan sebuah ‘pengakuan kecil’ meningkat, lalu ia memantik jantung saya, untuk meningkatkan intensitas kecepatan detaknya. Otak saya, mabuk akan pengakuan atas data-data yang berhasil disimpannya. Kesadaran saya, digetar biaskan oleh detak jantung yang kian bergemuruh, menderas.
Manusia lain, selalu dapat memberi rangsangan kepada manusia lainnya, atas nama; proses interaksi. Manusia lainnya, menjadi cermin pantul bagi individu manusia, untuk memeroleh pengakuan dirinya dari dirinya sendiri. Manusia lain, menjadi media pantul bagi dirinya sendiri, untuk memastikan keberadaannya, sebelum ‘menjadi’di dalam keberadaannya itu.
Kesadaran saya, bertarung untuk menguat. Kesadaran saya, bertarung dengan badai listrik yang tengah berkecamuk di dalam otak saya.
Hanya ketika otak saya tertidur, barulah saya menjadi saya, saya yang saya. Saya yang terlepas dari bias-bias tafsir atas apa-apa yang di luar saya, yang masuk kedalam saya, melalui indra-indra yang ada pada tubuh saya, lalu diproses oleh otak saya yang terbangun. Kemudian otak saya itu, melahirkan tafsir-tafsir atas apa-apa yang masuk-merasuk. Oleh karenanya, saya yang ada (ketika otak saya bangun dan bekerja), hanyalah sekumpulan tafsir-tafsir, yang membentuk saya yang bukan saya. Lalu tafsir-tafsir yang berasal dari luar itu, kembali memantik otak saya, untuk menafsir saya yang saya, hingga hasilnya menjadi, saya yang bukan saya. itulah kenapa, disaat-saat terbangunnya otak saya itu, saya yang saya, butuh membangun ‘kesadaran’ sebagai replikasi dari saya yang saya. Untuk membentengi saya yang saya, dari pengaruh tafsir-tafsir, yang dilahirkan otak saya, yang saya cintai itu.
Kesadaran saya, bertarung untuk menguat. Kesadaran saya, bertarung dengan badai listrik yang tengah berkecamuk di dalam otak saya. Bibir saya, bergerak mencari-cari bibir kekasih. Bibir kekasih, telah dibawa kekasih, ke kampung halamannya sendiri, dalam tarungnya, membangun kemandirian dirinya dan bibirnya itu. Dalam tarungnya, di masa-masa transisi yang paling jeri; menjadi Puan penguasa dirinya sendiri.
Hujan di luar kian mereda, jejak asap tercium masih. “Apakah hujan turun pula di Riau, Kalimantan dan Sumatera Selatan?” karbon dioksida, tak lagi dimakan pohon. Pohon-pohon dibunuh api. Makhluk-Makhuk hidup, hilang hidupnya. Manusia-Manusia bertengkar-tengkar kemudian. Apakah jejak-jejak asap disana, mereda sudah?” gumam kelicikan otakku, mendistraksi struktur prosesnya sendiri, pura-pura peduli.
“Bagaimana menurutmu bro?” Otak saya, sontak menggelinjang, ia (otak saya-pen) mengaktifkan proses produksi lebih banyak biokimia tertentu, di dalam tubuh saya. Ekstase akan sebuah ‘pengakuan kecil’ meningkat, lalu ia memantik jantung saya, untuk meningkatkan intensitas kecepatan detaknya. Otak saya, mabuk akan pengakuan atas data-data yang berhasil disimpannya. Kesadaran saya, digetar biaskan oleh detak jantung yang kian bergemuruh, menderas.
Hujan berhenti perlahan, genangan air menderas, kota ini kembali ke kewajarannya setelah hujan; banjir. Sebab begitulah seharusnya yang terjadi di ini kota setelah hujan, banjir. Bila setelah hujan tidak banjir, maka kota ini, sungguh tidak normal sekali. Dia (kota ini-pen) harus banjir. Harus dan harus, malah harus sekali. Tidak bisa tidak. Kalau tidak, maka kota ini sedang ingkar terhadap keadaan dirinya sendiri.
“Apanya yang bagaimana?”
“Film the Cargo itulah, kau kan pernah nonton juga, keren kan filmnya?”
“Oh iya, siapa berani bilang film itu tidak keren, Cuma orang-orang yang bebal pikir saja yang akan bilang bahwa film itu tidak keren. Aku akan bedah dari perspektif naskahnya. Blaaa... bla... bla.. Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla.., bagaimana penulis naskah itu membangun alur yang tidak terduga semisal, lewat tokoh utamanya, ia membangun citra protagonis yang kemudian Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla.. Alur maju pada plot nya lah yang membuat kita bisa tertipu Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla.. betapa kerennya, aku akan mengutip pandangan Robert Stanton dalam buku Teori Fiksi, bahwa dalam fiksi ada fakta, bahwa unsur fiksi dapat dibentuk oleh rangkaian peristiwa yang terjalin secara faktual Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla.. Atas dasar itu, maka film itu keren sekali adanya, yang bebal saja yang bilang itu film tidak keren.Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla..Blaaa... bla... bla......
Setelah lima puluh menit berceracau dengan jeda yang sedikit sekali.
“Kan, apa kubilang, memang keren kan filmnya!” Kawan saya, yang bertanya tadi, semangat mendukung pernyataan otak saya.
Otak saya, kelelahan dalam pusaran lingkaran asumsi yang tak berkesudahan.Kesadaran saya, juga sudah seumpama ikan buntal yang berdansa di padang pasir. Otak saya, sontak mati suri. Kesadaran saya, gagal mempertahankan dirinya. Hening sesaat, sebelum saya yang saya, sontak tertawa lepas. menertawakan keseruan otak dan kesadaran saya. Kawan-kawan saya, sepertinya memahami gelegar tawa itu. Mereka juga tertawa sambil memaki-maki. Kami, sulit menghentikan tawa kami masing-masing. Kami menertawai kehausan akan pengakuan kami diantara kami, dan itu menyenangkan sekali. Kami benar-benar terhibur.
Hujan diluar, sudah sampai pada batasnya, untuk jatuh. Masing-masing kami, memutuskan menguji daya tahan sepeda motor masing-masing, di genangan air banjir. Di sepanjang jalan, kesadaran saya, menasehati otak saya, yang sudah pulih dari mati surinya.
“Tak, ini diantara kita saja, apa yang seharusnya kau jawab soal film The Cargo itu?”
“Tentu saja, aku akan menjawab: tidak tahu. Sebab Film yang sudah jadi, itu bukanlah naskah. Ia adalah tafsir sutradara atas naskah yang ada. Maka aku tidak dapat membedahnya dari perspektif naskah. Lagi pula, aku tidak punya data tentang naskah film itu. Bersebab mata, belum memaparkan naskah itu padaku. Bila pun ada, ya aku belum punya data holistik yang tersimpan, terkait standarisasi sebuah naskah, yang dapat kujadikan rujukan. Maka, jawaban yang faktual adalah: Aku tidak tahu!”
“Lalu, kenapa kau menggunakan seluruh daya upaya kekuasaanmu untuk menundukkan aku, Tak? Sehingga engkau ngawur saja jadinya!”
“Oalah Dar... Dar, ini soal marwah eksistensi, mana mungkin aku ngalah, itu tugasku! Ada hal yang luput darimu, Dar!”
“Apa itu, Tak?”
“Bahwa tugasmu adalah membaca nuansa dan suasana, membaca dengan nama intuisi, hingga engkau menyadari, bahwa perbincangan tadi, adalah sekedar perbincangan hiburan, mengisi kekosongan menunggu hujan reda. Manusia itu, makhluk yang suka berinteraksi, juga manusia yang suka bersenang-senang. Maka perbincangan tadi, adalah sekedar perwujudan dari keduanya itu. Kau lupa membaca nuansa dan suasana yang hadir, Itu kenapa engkau memaksa semuanya, menjadi kaku dan serius. Itu tidak menyenangkan. Kau tidak menjadi, selayaknya manusia. Apa kau mau, membekukan kedinamisan manusia dalam berinteraksi? Kan manusia juga butuh bermain-main dengan sesamanya, termasuk dalam ngawur. Satu hal lagi yang luput dari pembacaanmu, Dar!”
“Apa itu, Tak?”
“Pada titik ngawur itulah, kita benar-benar kembali menjadi manusia, sejatinya manusia, yang tiada ada dapat benar-benar memastikan apa-apa. Pada titik ngawur itulah, kita dapat menikmati keberadaan sebagai manusia. Sesekali kita butuh ngawur Dar, supaya tidak jadi; robot kaku!”
Kesadaran saya tersedak. Terkoreksi dan dilahirkan kembali oleh otak saya. Keduanya kembali hening (Saya curiga, mereka tertidur dengan gaya dan cara mereka masing-masing, bersebab kelelahan) Saya yang saya, tersenyum lepas, menikmati hening yang hening, menikmati saat-saat saya dapat menjadi saya yang saya sebelummenikmati saat-saat,pulang.
 *mengaku pemalas yang jarang keramas

Posting Komentar

0 Komentar