Merawat Kesadaran Kritis

Ilustrasi: Net.

Esensi pendidikan adalah sebuah panggilan untuk berdialog dan bekerja. Setidaknya simpulan ini kudapat ketika mencari bahan referensi untuk menulis pandanganku terkait diskusi bertajuk “Ada Apa dengan Kampus” di Literacy Coffee, Selasa (27/8) kemarin. Diskusi yang dihadiri oleh sekira 40-an orang ini sangat membakar jiwa kemahasiswaanku yang hampir 15 tahun lalu kutanggalkan. Betapa malangnya nasib penghuni kampus yang ingin mengecap hal bernama pendidikan di perguruan tinggi saat ini. Betapa malangnya penyelenggara lembaga pendidikan tinggi berisi para guru besar dan ilmuwan bekerja dalam ruang lingkup yang jauh dari esensi pendidikan yang seharusnya.

Selama lebih kurang 3 jam berdiskusi dan berbagi cerita, yang keluar hanya cerita sedih. Kebetulan hari itu, Serikat Mahasiswa Indonesia sedang mengadakan Mubes di Medan. Jadi setidaknya perwakilan mahasiswa dari hampir separuh provinsi di Indonesia hadir malam itu. Mulai dari Medan, Lampung, Yogyakarta, Jakarta, Sulawesi Tengah, Mataram, hingga Ternate hadir malam itu. Tak usahlah kita bahas soal sarana dan fasilitas kampus yang tak sebanding dengan biaya pendidikan yang tinggi, sudah tahu sendiri betapa payahnya Indonesia soal itu, kita cukup bahas soal bagaimana kampus mendidik mental dan karakter sosial orang-orang yang ada di dalamnya, khususnya mahasiswa.

Sebagai lembaga pendidikan, intelektualitas adalah keniscayaan. Dan elemen dalam intelektualitas adalah kekritisan berpikir. Sebab, otak dilatih secara intens untuk mencari data (informasi) lalu menganalisisnya, untuk menjadi wawasan dan pengetahuan. Pengetahuan itu nantinya dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, memecahkan masalah-masalah. Karena pada pada dasarnya lembaga pendidikan selalu menawarkan wawasan tentang hal yang baik dan benar, implikasi dari proses ini adalah kemampuan mahasiswa untuk mendeteksi ketidakberesan atau kecurangan. Minimal membaca realitas dengan berkesadaran. Kemampuan ini adalah ilmu yang dibawa mahasiswa dalam dirinya. Jadi ketika ia berhadapan dengan situasi yang tidak beres atau kecurangan, ia gelisah. Melihat harga sembako naik tanpa diiringi kenaikan gaji pekerja, ia gelisah. Ia melihat perampasan lahan petani oleh pengusaha yang dibekingi aparat, ia gelisah. Ia melihat dosen yang malas masuk kampus dan memaksa mahasiswanya membeli diktat, ia gelisah. Deteksi ketidakadilan, dan masalah sejenisnya, hidup dan membuatnya gelisah.

Ia gelisah melihat kekayaan alam yang begitu berlimpah tapi masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan. Ia gelisah melihat uang negara begitu besar, tapi alat produksi dan akses permodalan usaha, sulit diakses masyarakat luas. Ia gelisah, hanya menjadi penonton dari sebuah sistem yang membuat dirinya termangu dan tidak bisa berbuat apa-apa. Sistem yang membuatnya hanya mampu berpikir dan bertindak instan, seolah ia hanya hidup untuk hari ini dan esok saja. Ia gelisah berada dalam sebuah tatanan masyarakat yang membiarkan sistem ini menjadi sebuah kultur dan diwariskan.


Lalu muncul pertanyaan mendasar, apakah pendidikan itu bisa menjawab persoalan hidup seseorang? Pertanyaan ini dijawab oleh masing-masing individu. Ada yang pesimis, ada yang optmis. Orang-orang yang berdiskusi pada malam itu di Literacy Coffee, masuk dalam kategori yang optimis. Karena itu mereka melawan kampus yang dipimpin rektorat yang diktator, bukan meninggalkan kampus. Mereka ingin kampus dikelola dengan benar, mendidik sebagaimana mestinya.
Hak bersuara masuk dalam kategori hak asasi manusia. Hak yang dibawa manusia sejak ia lahir sampai ia mati. Ini dijamin oleh undang-undang di negera ini. Dan elemen dari demokrasi pancasila sebagai ideologi negara, adalah keadilan sosial dan permusyawaratan. Namun, kedua hal ini hilang dalam perilaku penyelenggara pendidikan. 

Kampus yang diwakili oleh para dosen luput membawa dua elemen ini ketika menghadapi mahasiswa sebagai ‘konstituennya’. Suara mahasiswa hanya angin lalu. Arogansi dan bertindak dengan ancaman ‘DO’, selalu jadi tontonan mahasiswa ketika ingin ‘melawan’ kebijakan kampus yang dianggap tidak adil dan tidak masuk akal. Transparansi anggaran kampus misalnya, itu menjadi misteri di kampus. Seperti cerita hantu, ada tapi tak nampak.

Ketika mahasiswa bersama pers kampus mencoba meminta transparansi anggaran kampus milik pemerintah pun, itu dianggap tindakan ‘tidak sopan’ oleh rektorat, mereka marah. Cerita pemberangusan pers mahasiswa terdengar merata. Seperti di Makasar, Yogjakarta, Medan, Mataram. Padahal kebebasan berserikat, bersuara, dan berekspresi dilindungi undang-undang. Mahasiswa kritis dianggap ‘hama’, sehingga mereka diperlakukan buruk. Dosen di kampus itu telah mengamputasi kemampuan mahasiswa berpikir kritis dan kesempatan melatih mencari solusi terhadap suatu persoalan atau konflik. Mahasiswa dilatih mengabaikan ketidakberesan dan kecurangan. Dan bahaya laten ini diperburuk dengan adanya komersialisasi pendidikan. Pendidikan mahal, ilmu kini berorientasi profit (uang), bukan lagi untuk kemaslahatan manusia.


Pers kampus yang ingin mengorek kebenaran dugaan korupsi kampus, dibekukan. Pers kampus diminta hanya memberitakan hal-hal baik kampus saja. Bukannya ‘dilatih’ objektif oleh para dosen/pendidik itu, mahasiswa justru diajarkan untuk menjadi penjilat, mungkin seperti mereka dulu diajarkan oleh dosen-dosennya terdahulu. Inilah yang kusebut, mahasiswa malang. Memprihatinkan. Sikap penjilat, tumpulnya kekritisan, sikap cuek terhadap kondisi sekitar, adalah mental pengecut yang mengiringi membludaknya jumlah sarjana di bumi Indonesia. Pekerja upah murah adalah konsekuensi logis dari kondisi ini. Jiwa bersaing mendapat pekerjaan telah menggantikan kemampuan produksi para sarjana kita. Ironisnya, di ulang tahun Indonesia ke 74 ini, temanya adalah ‘SDM Unggul Indonesia Maju’. Inilah apa yang kusebut memalukan. Kondisi pemuda begini tragis masih bisa hip-hip hore? Apakah petinggi negara ini masih sehat?

Pendidikan kita bukan cuma urusan penyelenggara pendidikan. Masyarakat, pers, lembaga pemerintah, dan kepala daerah, memiliki andil dalam proses ini. Jika kita sepakat bahwa lembaga pendidikan (tinggi) adalah tempat melahirkan para ahli dan ilmuan, harusnya dilakukan dengan serius dan pengawasan yang benar. Bukannya malah membiarkan Satpam USU mengeroyok mahasiswa sampai setengah mati lalu kampus membela mati-matian Satpamnya. Atau bukannya membiarkan polisi mengkriminalisasi mahasiswa yang demo “Pendidikan Gratis” dengan segala muslihat dan persekongkolan jahat seperti yang terjadi di USU 2 Mei 2017 lalu. Bukannya malah memecat pengurus Suara USU tanpa tedeng aleng-aleng karena mereka menolak menjadi media “Humas” kampus. 

Bukannya memecat 24 mahasiswa UMSU yang berdemo, kendati di-PTUN-kan mahasiswa hingga ke MA dan memenangkan gugatan. Bukannya membuat Surat Edaran melarang mahasiswa berunjuk rasa di kampus UNIMED. Itu bentuk kebodohan dan pembodohan yang akut. Amat sangat bertentangan dengan semangat demokrasi Pancasila yang sangat dibangga-banggakan pemerintah itu. Berbanggalah melihat mahasiswa yang masih membara semangatnya mengkritisi kampusnya. Sebab jika mahasiswa sudah ‘jinak’, negara ini akan dikuasai para diktator.

(diana saragih)

Posting Komentar

0 Komentar