Perut Buncit Pak Tarno

Karya Renjaya Siahaan

Oleh : Pdgsgk
Seperti biasa, sungai deras di desa Buan meraung raung. Suara gaduh dari air terjun membuat pemandangan semakin asyik. Sungai ini dengan segala kejernihannya tak tertandingi oleh sungai sungai lain di desa lain. Pohon pohon masih berdiri megah dengan kera dan burung burung yang menghiasinya. Tak luput juga dari pemandangan, batang batang pohon bagot berdiri di sana sini dengan tandan yang melimpah. Ah, sungguh alam yang indah.

 Orang orang akan terkagum kagum apabila datang ke tempat ini. udara yang sejuk. Suasana yang damai. Orang orang yang datang kesini akan mendengar nyanyian nyanyian dari para pangaragat di atas bagot. Atau mendengar bunyi bunyi pukulan di batang tandan bagot. Sungguh keindahan yang tiada tara.

Mangaragat menjadi sumber pendapatan utama penduduk desa. Memproduksi nira menjadi gula atau menjadi tuak untuk di minum di sore hari. Memasok gula dan tuak ke luar daerah sudah menjadi kesseharian mereka. Dari sana mereka mendapatkan uang untuk mencukupi kehidupan sehari hari.

*
Hari ini, seperti hari hari biasa, penduduk desa yang memiliki kemampuan mangaragat, akan berbondong bondong ke pinggiran sungai. Membawa parang ikatkan di pinggang dan bakul di panggung atau sebagian membawa jerigen di tangan buat yang ingin menikmati tuak di rumah untuk mengembalikkan lelah sehari hari. Dengan penuh harap mereka membayangkan bahwa penampungan nira mereka di batang pohon bagot sudah penuh. Itu artinya saat yang tepat untuk membuat gula. Tidak bisa dibayangkan kekayaan alam desa Buan berupa Bagot ini terkenal kemana mana. Dari sanalah gula merah banyak di pasok di pasar. 

Pagi ini, seperti hari hari biasa, mereka akan membuat gula, memasak di sopo yang mereka buat di dekat batang bagot mereka. Menjadi kebanggaan tersendiri. Saat orang orang di tempat lain sibuk dengan pertanian dan pupuk yang mahal, desa ini hanya butuh tenaga dan kemauan untuk bekerja karena sudah di siapkan oleh alam itu sendiri. Hanya bermodal sebatang bambu untuk memanjat dan sebilah parang untuk memotong tandannya dan sedikit usaha memasaknya di belanga, gula sudah jadi dan mampu mencukupi kehidupan sehari hari.

Di sore hari, saat matahari akan turun, gula sudah di jemput oleh tengkulak. Uang segepok segera jatuh ke tangan. Setelah itu, beli rokok dulu, beli beras, dan kebutuhan lain. Bawa kerumah dan makan kenyang. Setelah itu di tutup tuak yang disisakan dari hasil nira hari ini.

Begitulah sehari hari, kehidupan di desa Buan, tidak berbeda dengan pak tarno. Seorang yang baru pulang dari perantauannya beberapa bulan lalu. Dia mencoba untuk mengambil peruntungannya di desa dengan mangaragat dan membuat gula aren. Tidak sulit baginya untuk mengikuti dan belajar cara kerja mengolah bagot dari awal sampai akhir.

Dia dengan cepat bisa belajar dari kawan kawannya di tambah modal dasarnya waktu kecil yang juga merupakan anak dari pangaragat. Sehari hari pasca pulangnya dia, jumlah gula olahannya meningkat. Membuatnya berfikir bahwa tinggal di desa lebih indah dari yang dia alami dari di kota.
Kehidupannya sejahtera, sama seperti warga yang lain.

**
Tak lama setelah itu. Ada hal yang janggal, semakin hari harga gula menurun. Tengkulak dengan semena mena menentukan harga. Katanya produksi gula terlalu banyak. Belum lagi di desa lain yang sudah mengikuti jejak watga desa Buan dalam membuat gula aren.
Warga semakin resah. Harga semakin murah sementara biaya hidup harus di penuhi. 
Hal ini membuat pak tarno kecewa. Di ambilnya parangnya kemudian pergi ke ladang. Di kulitinya pohon Raru, di keringkannya. Kemudian setelah itu diambillnya Nira dari batangnya dan di bawa pulang. Di campur dengan Raru kemudian menjadi Tuak. 

Di minumnya Tuak itu sendirian sembari membayang bayangkan betapa kecewanya dia dengan harga gula. Sehari hari dilakukannya cara yang sama. Hingga suatu kali disadari atau tidak, perutnya membuncit. Selentingan terdengar kawannya memanggil. Pak Tarno, sudah berapa bulan ? kapan sudah selesai ?

Ahhh. Akupun tidak tahu, hari ini, aku tidak tahu mau bagaimana lagi. Semua hancur sudah! Katanya sambil menelan parak tuak terakhirnya
Ahh!

Posting Komentar

0 Komentar