Oleh: Dr. phil. Ichwan Azhari, MS
Sekalipun tersedia relatif banyak literatur1) membahas tokoh yang kita seminarkan hari ini, tapi riwayat hidupnya, perjuanganya, spiritualitasnya termasuk keterbukaanya dengan dunia luar tetap menimbulkan kontroversi yang menantang sejarawan untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam. Benarkah dia beragama Islam sebagaimana ada sumber Belanda dan Jerman mengatakannya yang menyebabkan Mohammad Said menguatkan indikasi itu sementara WB. Sijabat membantahnya? Mengapakah dia disatu sisi dekat dengan Aceh yang muslim dan panglima-panglima Aceh rela membantu perjuangannya sampai mati di tanah Batak sementara dipihak lain, dia tidak memusuhi bahkan bertemu dan berkorespondensi dengan Nommensen missionaris Kristen Batak yang terkenal itu? Jika kakeknya (Sisingamangaradja X) tewas dibunuh pasukan Islam dari arah Selatan yang ingin melakukan Islamisasi Tapanuli, mengapakah ayahnya (Sisingamangaradja XI) tidak memusuhi Islam (bahkan mengirim Sisingamangaradja XII ke dunia Islam yang lain di Aceh) dan elemen Islam diterima masuk dalam serangkaian ritus-ritus kepercayaan Sisingamangaradja XII ? Benarkah dia di satu era perjuangannya tidak mendapat banyak dukungan orang-orang Batak sendiri sehingga dia harus mempertanahkan diri sampai ke Dairi sebagaimana sumber kontroversial (Mangaradja Parlindungan) menyebutnya? Bagaimana cara dia mati, ditembak oleh Christoffel sebagaimana berbagai sumber menyebut ataukah ditembak oleh seorang Maluku bernama Hamisi sebagaimana yang ditemukan Sijabat?
Diantara berbagai sumber itu masih terdapat begitu banyak mitos dan kontramitos dalam tradisi lisan di Tanah Batak, Dairi, Simalungun, Karo, Aceh bahkan Deli. Mengingat mobilitas yang tinggi dari tokoh ini, maka saya sependapat dengan Sijabat (1983:75-76) yang menganggap pentingnya menelaah sumber-sumber yang ada di luar Tanah Batak. Karya Sidjabat sendiri saya nilai telah menggunakan metode penelitian sejarah yang sangat baik dalam mengumpulkan data Sisingamangaraja XII.
Di antara berbagai tema menarik dari berbagai kontroversi ini saya ingin menyoroti strategi politik yang digunakan tokoh yang mengagumkan ini untuk merespons perubahan-perubahan yang dihadapinya dengan cara menciptakan satu model sistem politik yang dianggapnya sesuai dengan tanah Batak yang selama ini terfragmentasi dalam unit–unit kekuasaan kecil.
Era dimana Sisingamangaraja XII hidup dan berjuang adalah era dimana perubahan–perubahan yang sangat dahsyat sedang berlangsung di tanah Batak dan daerah sekitarnya, suatu perubahan yang menimbulkan goncangan sangat besar untuk kawasan itu. Serangan Islam dari Selatan kedatangan missionaris Jerman(RMG) ke pedalaman, ekspansi kekuasaan kolonialisme Belanda, pertumbuhan yang pesat dari kapitalisme perkebunan di Sumatra Timur dan perang Aceh, merupakan peristiwa–peristiwa besar yang harus dihadapi Sisingamangaraja XII.
Bagaimana tokoh yang sangat humanis ini (bukankah dia dan leluhurnya dikenal membebaskan para budak yang memang ditemukan dalam struktur Batak Toba, membebaskan orang–orang yang di pasung) memberi respons atas perubahan–perubahan besar itu? Bagaimana dia mengkonsolidasikan sistem politik Batak yang terkotak–kotak dan sangat heterogen itu ? Bukankah setiap huta mempunyai raja hutanya masing–masing, marganya, solupnya dan masing– masing mempunyai harga diri yang tinggi serta tidak mau kalah terhadap yang lain (Sidjabat ; 1983 : 67 )? Tidak mengherankan, sebagaimana diakui Sidjabat, kalau banyak orang datang dari luar menganggap bahwa unsur heterogenitas ini adalah salah satu unsur kelemahan utama dari masyarakat Batak.
Jika ditarik ke dalam konteks masa kini, apakah heterogenitas yang mengarah ke eksklusivisme itu masih mendasari kebijakan politik di kalangan pemimpin dan politisi Batak dalam membaca tanda-tanda jaman? Apakah sekarang, kawasan-kawasan politik yang berdampingan dengan tanah Batak melihat tanah Batak sebagai sahabat dalam membangun politik bersama untuk kepentingan bersama sebagaimana Sisingamangaraja XII dulu telah merintisnya? Ataukah saat ini tengah terjadi kecemasan dari unit-unit politik yang berdampingan dengan tanah Batak bahwa tanah Batak merupakan kesatuan politik yang menakutkan sehingga kawasan-kawasan politik sekitar tanah Batak menghindar dan menjauh dari tanah Batak ?
Sisingamangaraja XII lebih 100 tahun yang lalu menyadari kelemahan sistem politik tradisional Batak yang menimbulkan begitu banyak raja-raja kecil di level kampung dengan egoismenya yang kuat dan mau menang sendiri. Model seperti ini disadarinya tidak akan bisa merespons perubahan yang berlangsung di depan mata. Sisingamangaraja XII ingin melakukan perubahan terhadap sistem itu. Tapi dengan sistem seperti apa? Mungkin rujukan ke sistem politik masa lalu Batak tidak ditemukan sehingga Sisingamangaraja XII menoleh ke sistem politik yang ada di Aceh dan mengadopsi sistem itu menjadi Sistem Raja Merampat.
Menurut Sidjabat (1983 ; 74-75) ): di daerah daerah Raja Berempat Si Singamangaraja yang mengambil inisiatif mengadakan pemerintahan sendiri itu, Singamangaradja diakui disana selaku maharadja sedangkan raja yang empat dalam tiap-tiap unit raja merampat atau raja berempat itu berfungsi sebagai stadhouders (pemangku-pemangku) kerajaan dari Raja Iman Si Singamangaradja. Dialah yang merupakan primus inter pares raja berempat dalam berbagai daerah di Sumatera Utara. Bahkan di daerah Sipirok, berdasarkan dokumen (MS) No. 5855 di Universitas Leiden mangaradja Singa diakui juga sebagai raja yang paling besar.
Penggunaan sistem Raja Merampat ini mengindikasikan bahwa Sisingamangraja XII adalah tokoh yang terbuka dan mau mengadopsi sistem politik baru dari luar sepanjang sistem itu dianggap bermanfaat untuk mengatasi kebuntuhan sistem politik lama dalam merespons perubahan jaman. Dalam bahasa masa kini dia adalah pemimpin yang tidak mau bertahan dengan egoisme sektoral atas sistem lama yang sudah tidak mungkin dipertahankan lagi. Dia adalah tokoh pembaharu yang ingin mencairkan kebuntuan eksklusivisme sistem poilitik Batak yang mengisolir diri ke dalam dan bukan memperbaiki sistem yang bisa digunakan untuk merespons perubahan zaman.
Di samping menata sistem politik dalam negeri yang baru, Sisingamangaraja XII juga melakukan aliansi–aliansi politik dengan kekuasaan yang ada di luar tanah Batak. Selain melanjutkan hubungan dengan Aceh Sisingamangaraja XII juga melakukan kontak politik dengan Raja Raya di Simalungun (Tuan Rondahaim). Dia juga melakukan terobosan–terobosan lintas kultur politik dan membangun imej politik yang baik mulai dari Asahan, Simalungun, Tanah Karo, Dairi, Pakpak termasuk dengan Deli Serdang dan Aceh.
Upaya untuk membangun aliansi-aliansi politik baru di luar tanah batak ini memperlihatkan Singamangaraja XII merupakan pemimpin batak yang membuka diri (bekerja sama) dan mampu membangun imej (citra) yang positif terhadap kekuatan-kekuatan atau wilayah yang berdampingan dengan tanah Batak. Jadi, lebih dari seratus tahun yang lalu, tanah Batak telah memiliki pemimpin yang progresif, memiliki visi ke depan, dan tidak eksklusif, mengisolir diri dengan kebatakannya. Bukankah saat ini, pemimpin dan politisi yang memimpin tanah batak, yang menentukan masa depan orang Batak dan tanah Batak dapat belajar dari sikap dan visi Sisingamangaraja XII yang luar biasa itu?
DAFTAR BACAAN
Sidjabat, WB.
1982 Ahu Si Singamangaraja (cetakan kedua). Jakarta: Sinar Harapan.
Christoffel
1907 Telegram ke GG di Buitenzorg No. 30 Tarutung, 17 Juni
Baringin. Leonard
1982 Sisingamangaraja XII. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Pasaribu, Abdul Rahmi, dkk
1996 Raja Uti: Tokoh Spritual Batak. Jakarta: Yayasan Lopian Indonesia
Buana, Adi
1982 Lopian: Putri Si Singamangaraja. Jakarta: Yasaguna
Sibarani, A
1980 Perjuangan Nasional Si Singamangaradja XII. Jakarta: Bona Tora Jaya- yayasan Si Singamangaraja Perwakilan Jakarta.
Napitupulu, OL.
1971 Perang batak-Perang Sisingamangaraja. Vol I. Jakarta: yayasan Pahlawan nasional Si Singamangaraja.
Said. Muhammad.
1961 Sisingamangaraja XII. Medan: Waspada
Parlindungan, Mangaraja O.
1965 Tuanku Rao. Jakarta: Tanjung Pengharapan
Meuraxa. Dada
1974 Sejarah Kebudayaan Sumatera. Medan: Hasmar
Lumbantobing, A
1967 Si Singamangaraja I-XII. Medan: W. Marpaung.
Disampaikan pada Seminar ‘Peringatan 100 Tahun Gugurnya Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII, Deli Room Hotel Danau Toba Internasional |
0 Komentar