Kampanye Literasi Abal-Abal

Christian Hutahaean*** 
      Di tahun 2019 awal, saya berpartisipasi dalam sebuah kampanye literasi bertajuk Make Indonesia Read Again. Kampanye yang dilakukan melalui medium media sosial Instagram ini mengajak orang-orang untuk membagikan foto buku, perpustakaan pribadi, ataupun gambar diri yang sedang asyik dengan bacaan. Foto-foto itu kemudian dipublikasi ulang serentak oleh akun instagram yang memotori kampanye tersebut dengan tagar #MakeIndonesiaReadAgain. 

Dalam waktu yang relatif singkat, banyak pengguna instagram yang membagikan foto-foto mereka sedang membaca, disertai dengan caption yang berusaha menggugah minat masyarakat untuk lebih gemar membaca dan mencintai bacaan.

      Tidak lama setelah kampanye #MakeIndonesiaReadAgain itu, saya kembali mengikuti sebuah kegiatan literasi. Adalah lomba menulis ulasan buku yang saya ikuti. Setiap peserta lomba diwajibkan untuk menulis sebuah ulasan buku dan kemudian dipublikasikan di feed instagram. Buku yang diulas bisa buku apa saja, baik fiksi maupun non fiksi. Singkat cerita, ulasan saya tentang  novelet Le Petit Prince pada saat itu maju ke putaran final untuk kemudian diseleksi lagi guna menentukan pemenang utama yang akan mendapatkan hadiah berupa buku. Sebelumnya, panitia pelaksana membuat ketentuan bahwa setiap finalis berhak mendapatkan sertifikat dan paket EBook. Sampai hari ini, saya tidak pernah menerima sertifikat itu berikut paket EBook nya. Pernah saya coba menghubungi pihak penyelenggara, namun mereka mengaku hanya sebagai pihak perantara yang membantu publikasi kegiatan lomba tersebut. Akhirnya saya tidak menindaklanjuti lagi perihal reward lomba itu.    

      Tak bisa saya mungkiri, pasca kejadian itu, saya menjadi skeptis dan tidak bergairah lagi pada kegiatan-kegiatan yang seakan-akan mengampanyekan budaya literasi semacam itu. Kendati demikian, saya tidak pernah berhenti membaca dan menulis. Saya hanya tidak bersemangat lagi untuk mengikutsertakan tulisan-tulisan saya dalam lomba-lomba yang tak jelas seperti itu. Bagi saya, tidak perlu ada pihak yang menjanjikan apresiasi bagi budaya literasi kalau toh tidak bisa ditepati. Tidak perlu juga ada pihak yang sok-sokan getol mengampanyekan budaya literasi kalau mereka sendiri tidak paham literasi.

      Bukan tanpa alasan saya mengatakan hal demikian. Pernah juga saya beberapa kali mengunjungi laman komunitas yang sedang mengadakan lomba atau sayembara menulis. Dan yang saya temukan adalah; menulis untuk publikasi di laman mereka saja mereka masih awut-awutan. Ada yang typo lah, kesalahan tanda baca lah, dan susunan-susunan kalimat tidak efektif yang justru membuat pening kepala orang yang membacanya. Bagi beberapa orang mungkin tidak terlalu menjadi masalah. Tapi bagi saya, itu adalah aspek fundamental yang tak bisa dianggap sepele. Memangnya apa yang hendak ditularkan oleh kegiatan-kegiatan literasi semacam itu? Bukankah agar setiap orang bisa meningkatkan kemampuannya serta semakin menumbuhkan kecintaannya pada literasi? Atau hanya menonjolkan semangat publisitas yang menggebu-gebu?

      Pihak-pihak yang hendak mengampanyekan literasi hendaknya tidak melulu dengan cara mengadakan sayembara menulis. Terutama kalau mereka memang belum memiliki kapasitas untuk menyelenggarakannya. Hal pertama yang perlu mereka lakukan adalah menunjukkan bahwa mereka memang berniat mengangkat budaya literasi. 

      Kegiatan-kegiatan seperti bedah buku dan bazar buku bisa menjadi alternatif. Kegiatan semacam itu barangkali akan lebih berkontribusi memberi ruang bagi bertumbuhnya budaya literasi. Kegiatan seperti itu juga akan menunjukkan pola kampanye literasi dengan cara melakukan kegiatan literasi secara langsung (Campaign By Doing). Tidak sekadar mengorganisir event dimana peran organisatornya justru sangat minim di bidang literasi. 

      Budaya literasi yang dikampanyekan hanya melalui kegiatan sayembara juga berpotensi menggiring literasi menjadi sebatas kompetisi. Padahal, seyogianya literasi adalah ilmu surat. Dan dalam ilmu surat, tidak pernah ada juara satu, karena ia merupakan perpaduan beraneka sudut pandang yang tak perlu dibandingkan untuk mencari pemenang. Lain halnya dengan ilmu silat yang tidak akan pernah memberi tempat bagi juara dua, karena si juara dua dan seterusnya sudah pasti akan disingkirkan oleh sang jawara. 

      Budaya literasi, sebagaimana definisi budaya pada umumnya, harus benar-benar tumbuh organik dari bawah. Sehingga ia melekat dalam keseharian masyarakat. Sehingga membaca, menulis, berdikusi, menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat. Sehingga tatanan masyarakat yang tercipta adalah masyarakat yang inklusif, toleran, rasional, dan berwawasan luas. 

      Tulisan ini memang hanya sebatas celotehan yang bersandar pada pengalaman pribadi penulis. Pun tidak ada niat menggeneralisasi persoalan yang demikian kompleks perihal budaya literasi. Contoh kasus yang saya sertakan di atas hanya segelintir dari serangkaian kekecewaan saya pada kegiatan-kegiatan bertajuk “Kampanye Literasi”. Pernah juga saya memenangi sayembara puisi namun tak kunjung menerima hadiahnya hingga hari ini. Ada juga tulisan yang saya ikutkan sayembara, tapi sayembaranya tiba-tiba hilang bak ditelan bumi. Tak ada kejelasan hingga detik ini. Atau tulisan saya tentang tragedi 65 yang sudah terbit di sebuah website, tiba-tiba ditarik kembali tanpa alasan yang jelas. 

      Semua itu cukup menjengkelkan. Namun, seperti yang saya sampaikan di awal, hal tersebut tak lantas membuat saya berhenti membaca dan menulis. Toh saya menulis bukan sekadar untuk saya ikutkan sayembara ataupun untuk saya terbitkan di laman komunitas literasi abal-abal. Saya menulis untuk memotret gagasan. Lantas menyebarkannya untuk membangun peradaban. Saya akan terus menulis! 

***Blogger, Kolumnis Lepas. 
Tulisan-tulisan lainnya berupa opini, resensi, hingga fiksi mini bisa dibaca di  
www.kompasiana.com/pemulung_pengetahuan
Penulis bisa disapa di media sosial Instagram @deadlineartist98 ataupun melaui alamat email hutahaeanchristian10@gmail.com

Posting Komentar

0 Komentar