Merayakan Ketidakpedulian

*Agi
 People hurt and offend each other. Manusia saling menyakiti dan menyinggung sesamanya. Jika kita memperhatikan beragam kejadian di sekitar kita hari ini seperti aksi intoleran, bullying, dan sikap rasis kepada sesama manusia maka dapat dikatakan bahwa ungkapan di awal tidaklah salah.

           Manusia sejatinya adalah makhluk sosial. Setiap dari kita yang berada dalam dunia ini adalah saudara yang memiliki status sebagai manusia penghuni dunia yang sama di hadapan Sang pemilik semesta. Artinya keberadaan manusia haruslah dapat membantu manusia lain dalam relasi sosial yang kecil hingga besar secara aktif.

"People exist for one another. You can instruct or endure them." - Marcus Aurelius

            Saya bukanlah seorang yang teramat religius dan tidak memaksudkan tulisan ini untuk mengevaluasi keadaan kita. Namun, dari apa yang saya lihat kita tidak mencerminkan diri kita sebagai bagian dari manusia yang hidup dalam dunia yang sama.

            Kita masih merayakan ketidakpedulian kita dalam sikap pasif dimana seharusnya kita dituntut bersikap secara aktif. “ngapain ikutin ngurusin tentang mereka yang mendapatkan perlakuan rasis karna beda kulit, ngapain ngurusin mereka yang dibully, ngurusin mereka yang dilarang beribadah? Toh, aku gak mengalami perlakuan rasis kok, aku gak dibully kok, aku juga gak dilarang beribadah kok di daerahku, dan juga aku tidak ikut dalam melakukan hal-hal tersebut, itu cukup”. Ini adalah ungkapan yang melahirkan perilaku pasif. Mungkin ungkapan-ungkapan inilah yang menyebabkan esensi kita sebagai makhluk sosial luntur. Kita tidak akan bersuara apalagi membela jika itu tidak mengusik kehidupan pribadi kita.  Pada saat rezim Nazi, Niemoller menuliskan sebuah puisi yang mengkritik dan menyindir kebungkaman kaum intelektua Jerman kala itu, 

Pertama-tama, mereka mendatangi kaum Sosialis, dan saya diam saja-karena saya bukan sosialis,
Kemudian mereka mendatangi para kaum Serikat dagang, dan saya diam saja-karena saya bukan anggota serikat dagang,
Kemudian mereka mendatangi kaum Yahudi, dan saya diam saja-karena saya bukan orang Yahudi,
Kemudian mereka mendatangi saya-dan tidak ada lagi orang tersisa untuk angkat bicara demi saya.

             Interpretasi-interpretasi dan puisi tersebut tepat untuk menggambarkan kualitas pribadi kita yang gagal hidup sebagai makhluk sosial secara praktek nyata (mungkin secara teori kita berhasil). Kita tidak mampu menerapkan hidup gotong royong bahkan kita tidak mampu hidup harmonis dalam perbedaan. Ini terbukti dengan maraknya kasus SARA, intoleran, hingga bullying karena adanya perbedaan dalam situasi atau karekter sebagai pribadi.

            Sebuah pertanyaan yang mungkin harus kita tanyakan kepada pribadi kita adalah “sudah sampai dimana kualitas kita sebagai pribadi?” apakah kita masih menyimpan ketidakpedulian dan kebencian pada mereka yang kita anggap berbeda? Apakah kita baru sampai pada tahap “selama mereka tidak ganggu saya, saya juga gak akan ganggu mereka?” atau sudah berada pada tahap “siapapun kamu, apapun sukumu, agamamu, bahkan berapapun harga outfitmu, aku tidak menghalangi diriku untuk membantumu”.
"Yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan." - Sayyidina Ali bin Thalib

            Artinya secara realistis kita memang tidak dapat menyelesaikan atau menemukan solusi untuk setiap masalah di dunia ini, di Negara ini, bahkan di dunia ini jika hanya dengan seorang diri. Oleh karena itulah, kita memiliki hakikat sebagai makhluk sosial. Inilah kontradiksinya. Sesuatu yang sering dilupakan “kebersamaan dan persatuan”. Kita bisa membuat dunia ini menjadi tempat yang lebih layak untuk ditinggali jika kita bersama-sama berkontribusi secara aktif di dalamnya dan saling membantu. Kemerdekaan dari penjajah hingga perjuangan  kesetaraan ras, gender adalah bukti yang tidak hanya di awang-awang¬ bahwa ketika kita sepakat untuk berjuang dan mengambil peran dalam perjuangan tersebut, kita bisa menggapainya. 

            Maka langkah awal yang bisa kita mulai adalah memulai dari diri sendiri untuk meningkatkan kepedulian kita secara aktif terhadap sesama dan menyisihkan beragam perbedaan dan hidup berdampingan sebagai sesama manusia dan sebagai warga dunia (kosmopolites) demi dunia yang penuh akan kasih antar sesama.


"Kita ibarat berada di ruangan yang terkunci, semua ingin keluar dari sana, tapi tidak ada yang mau mendobrak" - Ajmp

*Seorang Prokopton yang berarti pribadi yang berusaha menjadi lebih baik.

Posting Komentar

0 Komentar