Christian Hutahaean***
Memang betul dikatakan orang-orang. Politik kampus adalah miniatur dari politik nasional. Miniatur dalam kekacauan. Maaf harus mengatakan ini di awal. Memprihatinkan memang. Namun begitulah keadaannya.
Kadang terlalu naif untuk mengatakan politik kampus sebagai miniatur dari politik nasional. Situasi perpolitikan nasional barangkali telah menjadi rahasia umum. Sikut sana sikut sini, suap sana suap sini, korupsi, kolusi, dan nepotisme, bagi-bagi proyek, konspirasi, serta segudang kekacauan lainnya.
Kita sudah sama-sama tahu bagaimana konstelasi perpolitikan nasional. Lantas, apa makna yang hendak kita sampaikan dengan mengatakan politik kampus sebagai miniatur politik nasional? Apakah kita ingin mengatakan bahwa kampus adalah miniatur dari kekacauan-kekacauan yang disebutkan di atas? Ingin mengatakan bahwa kampus adalah tempat dimana kemampuan untuk melakukan segala bentuk kekacauan itu dilatih dan dikembangkan? Atau seperti judul tulisan ini, kita ingin mengatakan bahwa kampus adalah tempat dimana para penjahat ditempa.
Barangkali mahasiswa yang terlibat politik kampus sekadar ingin mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan politik kampus sebagai miniatur politik nasional adalah dalam hal teknis dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan. Jika demikian, tentu tidak terlalu menjadi soal. Karena kita sendiri pun tahu dan tidak dapat menafikan perjuangan seluruh lapisan masyarakat untuk penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan transparan di masa-masa silam.
Namun, lagi-lagi fakta di lapangan yang berbicara. Bukan teknis dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan transparan yang menjadi fokus perjuangan dalam praksis politik kampus. Melainkan bagaimana mendapatkan kekuasaan. Lebih naas lagi, etika politik tidak menjadi variabel penting dalam politik kampus tersebut. Padahal, pada tahap inilah seharusnya mahasiswa belajar untuk berpolitik dengan tetap mengedepankan etika politik.
Mahasiswa-mahasiswa yang terlibat politik kampus justru kerap melakukan praktik-praktik menyimpang. Sebut saja ketika tiba saatnya pemilihan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Apa yang selama ini menjadi keresahan banyak orang dalam perpolitikan nasional justru terjadi pada perhelatan politik seperti ini. Sebut saja politik identitas, kampanye hitam (Black Campaign), hingga diskriminasi masih menjadi praktik yang dianggap lumrah. Melihat kenyataan demikian, anggapan bahwa politik kampus adalah miniatur politik nasional lagi-lagi menemukan kebenarannya. Perpolitikan kampus adalah miniatur dari kekacauan perpolitikan nasional.
Anggapan bahwa masa kuliah adalah masa-masa berbuat salah harusnya menjadi kesempatan bagi mahasiswa yang terlibat dalam politik kampus untuk menemukan formulasi yang ideal dalam berpolitik. Apa lacur, mahasiswa yang terlibat politik kampus malah menjadikan anggapan itu sebagai tameng untuk melakukan kesalahan dan praktik-praktik menyimpang dalam perpolitikan kampus. Persis apa yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya politisi di tingkat nasional.
Tempat kaum progresif ditempa
Tatkala kita sudah mengetahui situasi perpolitikan nasional dan kekacauan-kekacauan di dalamnya, sudah seharusnya kita berhenti mengatakan politik kampus sebagai miniatur politik nasional. Mahasiswa yang terlibat dalam politik kampus justru harus menampilkan konstelasi politik yang lebih beradab dimana etika politik menjadi sesuatu yang selalu dijunjung tinggi. Politik kampus harus menjadi cermin bagi politik nasional. Menjadi inspirasi bagi perpolitikan nasional. Bukan sebaliknya.
Wacana-wacana dalam perpolitikan kampus seharusnya menjadi wacana yang bukan sekadar wacana. Melainkan wacana yang diiringi dengan realisasi. Menjadi wacana tandingan bagi wacana politik nasional yang hanya sekadar wacana. Hanya dengan bagitulah arena perpolitikan kampus benar-benar menjadi arena pembelajaran berkelanjutan bagi mahasiswa yang terlibat di dalamnya. Bukan malah meniru praktik-praktik politik menyimpang di tingkat nasional. Karena kalau demikian halnya, lebih baik mahasiswa-mahasiswa yang doyan berpolitik itu terjun langsung ke arena perpolitikan yang sebenarnya. Jangan mengotori lingkungan akademis dengan politik praktis yang tak beretika.
Politik kampus juga harus menjadi tempat dimana para kaum progresif ditempa. Kaum yang menerobos kekacauan yang selama ini terjadi dalam dunia perpolitikan. Dengan demikianlah dunia perpolitikan bisa dibawa ke arah yang lebih baik. Politik yang membawa dampak konstruktif bagi lingkungan di sekitarnya. Politik yang tidak menjadikan kekuasaan sebagai tujuan, melainkan sebagai alat untuk membahagiakan banyak orang. Politik kampus harus mempunyai coraknya sendiri. Tidak sekadar berasosiasi dengan politik nasional. Hanya dengan begitulah politik kampus akan berhenti menempa para penjahat dan mulai menempa para kaum progresif.
***Mahasiswa di Departemen Hukum Tata Negara, Universitas Sumatera Utara
4 Komentar
Keren tulisan nya abangdaa
BalasHapusAbang tulisanya ngenak banget
BalasHapusBagus sekali tulisannya menggambarkan realitas
BalasHapusKereeeeeeeeen
BalasHapus