Menilik Hak Atas Pangan dan Solidaritas Spontan Lewat Film The Platform


Sumber: www.imdb.com




Oleh : Dios Aristo Lumban Gaol ***
Siapa yang bisa menduga, bahwa kita hidup di bumi yang penuh akan sumber daya alam untuk memenuhi seluruh kebutuhan manusia, namun tak seluruh manusia bahkan lebih dari setengahnya masih kelaparan. Kegamangan antara kebutuhan dan keinginan, keserakahan serta kebijakan yang tidak adil sedikitnya menjadi pokok permasalahan.

Begitulah pesan dan isi film the platform digambarkan. Film yang digarap oleh sutradara Galder Gaztelu-Uruttia ini memenangkan People’s Choice Award untuk Midnight Madness. Film ini pertama kali diputar perdana di Festival Film Internasional Toronto 2019, setelahnya film ini resmi rilis melalui Netflix pada 20 maret 2020.

Film ini mendapat sambutan baik dari para kritikus dan penikmat film. Salah satunya ialah Jason Bailey, melalui media The New York Times ia memberikan review kepada film ini. Ia menuliskan bahwa isi film ini padat akan kritikan dan komentar sosial, eksperimen brutal yang diperankan dalam film ini ditutupi dengan pengondisian sosial yang menumpulkan Darwinisme.    
Plot kelaparan, kanibalisme, bunuh diri, ketegangan, dan solidaritas berhasil digambarkan dalam film ini. Semuanya dimulai pada saat Goreng bangun di sel vertikal pada lantai 48. Teman satu selnya yaitu Trimagasi menjelaskan bahwa mereka berada didalam sel yang berbentuk menara, yang dimana makanan untuk tahanan dikirim melalui platform yang bergerak dari lantai atas ke lantai paling bawah.

Platform tersebut akan berhenti pada setiap lantai dengan waktu tertentu agar para tahanan dapat makan. para tahanan tidak dapat menyimpan makanan karena ruangan sel akan otomatis menjadi panas hingga tingkatan tertinggi atau menjadi dingin hingga tingkatan terendah. Disinilah adrenalin dalam film ini dimulai, sebab kerakusan para tahanan yang menepati sel paling atas mengakibatkan para tahanan yang menempati sel dibawahnya tidak mendapat bagian makanan. 

Ketika Goreng mengetahui bahwa menara tersebut lebih dari 136 lantai, dan makanan tersebut tidak cukup sampai pada lantai tersebut, Goreng merasa ada sistem yang salah pada proses pendistribusian makanan. Seyogyanya makanan diatas platform yang disiapkan, cukup untuk seluruh tahanan, bilamana para tahanan dapat memanajemen dirinya untuk makan sesuai kebutuhannya. oleh karenanya sel tersebut disebut dengan “Self-Management Center”. 

Menyadari hal tersebut, dalam satu scene Goreng berusaha berkomunikasi dengan tahanan yang ada diatas lantainya dan dibawah lantainya untuk dapat memanajemen makanan dengan makan secukupnya  agar makanan sampai ke lantai yang paling bawah. Namun Terimagasi melarangnya, karena yang dilantai atas akan tidak peduli karena kenyamanannya dan yang dilantai bawah akan sinis karena ketidakberuntungannya, setelahnya Terimagasi bertanya “apakah kau ini Komunis?” lalu Goreng Menjawab “Aku berpikiran rasional, pembagian jatah itu adil”.

Film ini menggambarkan dan melekatkan simbol pemberontak terhadap Goreng dengan baik. Hal tersebut dapat kita lihat dengan buku Don Quixote de la Mancha karya Miguel de Cervantes yang dibawa Goreng untuk mengisi harinya didalam sel. Buku ini menceritakan seorang bangsawan terpandang yang berkhayal menjadi pesuruh para ksatria, yang berniat memerangi ketidakadilan, ia bersikap layaknya ksatria gagah berani yang  siap melawan siapa saja. Sesuai dengan karakter Goreng, yang secara sukarela masuk kedalam sel selama 6 bulan, dan melawan sistem yang ada disel.


Hak Atas Pangan

Film ini merupakan kritik sosial terhadap keadaan global saat ini. Ketimpangan kekayaan yang ekstrem, mengakibatkan banyaknya orang miskin yang tak mampu untuk memenuhi kebutuhannya bahkan terhadap hal yang paling pokok yaitu makanan. Dilansir laporan Oxfam International sebelum pertemuan Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos menyatakan harta 26 orang terkaya di dunia sampai saat ini setara dengan kekayaan setengah masyarakat bumi. Ketimpangan ini salah satu penyebab isu kelaparan begitu massif di dunia.
Sumber: www.imdb.com


Di Indonesia sendiri pembahasan isu kelaparan tidak pernah ketinggalan setiap tahunnya, menurut Asian Development Bank di tahun 2016 -2018 ada sekitar 22 juta penduduk Indonesia yang menderita kelaparan. Hal ini mengakibatkan anak-anak di Indonesia cenderung stunting, karena tidak terpenuhinya makanan yang cukup. Dalam film ini, kelaparan mengakibatkan para tahanan saling membunuh untuk dimakan.  

Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia, pangan masuk pada kelompok hak dasar manusia yang secara tegas diatur dalam DUHAM 1948  dan ICESCR. Negara sebagai state actor dalam hal ini dibebani tanggung jawab dan memegang kewajiban untuk memenuhi hak tersebut. Pengabaian terhadap hak ini dikatakan sebagai pelanggar HAM, dan apabila diabaikan secara terus-menerus dapat disamakan dengan pemusnahan generasi secara laten (silent genocide).

Film ini tidak terlalu fokus membahas mengenai pemenuhan hak atas pangan oleh pengelola sel sebagai state actor. Pengelola hanya menyediakan makanan sesuai dengan jumlah tahanan, serta meletakkan pendistribusian pangan itu sendiri pada tahanan. Sistem ini dikenal sebagai Kapitalisme, hal ini mengakibatkan tidak terdistribusinya pangan tersebut secara adil. Sebab dalam sistem kapitalisme, Negara tidak mengintervensi pasar, pasar dibiarkan bergerak secara bebas, orang yang kuat atau yang mempunyai keistimewaan akan mengambil sepuasnya sehingga bagi orang yang lemah tidak tersisa untuknya. Dalam hal film ini digambarkan pengelola tidak ikut campur dalam pengdistribusian makanan, oleh karenannya tahanan yang berada disel paling atas akan memakan makanan sepuasnya tanpa memikirkan orang-orang yang berada disel bawah, sehingga orang-orang yang berada dibawah tidak mendapatkan makanan tersebut yang seharusnya menjadi haknya. 

Galder Gazetlu-Uruttia mengatakan pesan utama dari film ini adalah “umat manusia harus bergerak menuju distribusi kekayaan yang adil”. Hal ini dilaksanakan dengan eksplorasi tentang pentingnya inisiatif individu dalam mendorong perubahan politik yang mengkritik sistem kapitalisme. Inisiatif individu ini digambarkan pada Goreng yang menyebarkan ide manajemen makanan kepada tahanan lain.
Solidaritas Spontan
Setiap bulannya para tahanan akan pindah sel, beruntung bagi mereka bila ditempatkan pada lantai atas, dan sebuah kematian jika mereka ditempatkan pada lantai bawah. Pada Bulan kedua Goreng dipindahkan ke lantai 134, menurut perhitungan Goreng sebelumnya, makanan hanya berisi sampai pada lantai 55, setelahnya hanya ada piring dan gelas kosong.  tentunya kematian baginya, Terbukti ketika paha Goreng dikuliti oleh Terimagasi karena kelaparan, namun segara diselamatkan oleh Miharu yang turun dengan Platform untuk mencari anaknya ke lantai bawah, setelahnya Goreng membunuh Terimagasi.

Setelah melalui hari-hari berat, Goreng tidak peduli lagi terhadap Manajemen makanan, ia hanya peduli bagaimana caranya untuk bertahan hidup. Di bulan berikutnya Goreng berada di sel atas, kini teman sekamarnaya Imoigiri. Imoigiri sangat peduli dengan manajemen makanan. Imoigiri merealisasikannya dengan cara hanya makan 2 hari sekali, dan menyampaikan pada tahanan dibawah selnya untuk melakukan hal serupa, namun selalu diabaikan. Ketika ditanya Goreng kenapa Imoigiri melakukan hal itu, Imoigiri menjawab “kita bertanggung jawab atas orang-orang yang tidak dapat makan dibulan ini, kita harus membuat perubahan spontan”.

Sumber : www.imdb.com

Melalui dialog tersebut film ini menegaskan, bahwa kemiskinan dan kelaparan yang terjadi saat ini merupakan tanggung jawab kita semua. Imoigiri menegaskan harus ada perubahan spontan dari para tahanan, namun Goreng tidak sepakat, “Perubahan tak pernah spontan” kata Goreng.

Untuk melakukan perubahan dalam tatanan masyarakyat, harus terlebih dahulu ada kesadaran, bila tidak akan menjadi sia-sia, jika meminjam istilah Tan Malaka yaitu putch. Hal tersebut yang gagal dilakukan oleh Goreng dan Imoigiri. Dalam bahasa aktivisme yaitu pengorganisasian massa, kesadaran itu harus tumbuh dari grassroot atau dari tahanan itu sendiri.    

Pada Bulan kemudian Goreng berada satu sel dengan Bharat, Bharat sangat ingin bebas dengan cara memanjat dari lantai ke lantai memakai tali tambang namun selalu gagal. Pada suatu momen, Goreng sadar bahwa yang seharusnya diprotes ialah pegelola, oleh karenanya Goreng mengajak Bharat untuk melakukan protes damai kepada pengelola, dengan cara menyisahkan makanan hingga platform kembali keatas ke pengelola, mereka melakukannya dengan cara menaiki platform membagikan makanan secukupnya, namun ketika sampai dilantai paling bawah, Goreng dan Bharat menemukan seorang anak. Anak itu sangat kelaparan, sehingga Goreng memberikan makanan yang seharusnya menjadi pesan pada pengelola. Akhirnya anak itu yang dinaikkan Goreng ke atas platform untuk naik ketingkatan atas sebagai pesan protes pada pengelola.

Dalam Negara demokratis sudah sepatunya terjadi protes, ketika hak-hak yang dijamin tidak terpenuhi. Dalam adegan akhir ketika Goreng melaksanakan protes, ia mengirim anak sebagai pesan protes. Dapat kita tarik benang merah terhadap permasalahan global, pertumbuhan anak adalah hal yang paling disoroti dalam isu kelaparan. 

Film berdurasi 94 menit ini, berhasil menggambarkan realita sosial dengan kemasan yang kreatif dan pesan-pesan yang sangat mendalam. Keserakahan pada diri manusia menjadi salah satu penyebabnya, namun hal tersebut dapat ditangkal dengan kebijakan yang memihak kelompok tak berdaya.

Film ini kembali mengingatkan kita pada kata-kata Marthin Luther King yaitu “Setiap orang harus memutuskan apakah ia akan berjalan di bawah cahaya altruisme atau dalam kegelapan egoisme yang merusak”. Setelah menonton film ini, anda memilih jalan mana ?



***Penulis merupakan Mahasiswa FH USU dan Pengurus GMNI FH USU

Posting Komentar

0 Komentar