Kartini : Perempuan, Semangat dan Relevansinya


Selamat memperingati Hari Kartini. Tetapi bukan Kartini sebagai perempuan pemakai kebaya dan konde semata, melainkan Kartini sebagai seorang aktivis perempuan dan pemikir besar bangsa ini, substance above existence.

Tanggal 21 April, seperti biasa, bangsa ini memperingati Hari Kartini. Hendaknya momentum ini menjadi ruang untuk mengenang Kartini sebagai pejuang bangsa beserta gagasan-gagasannya. Dan penting juga melihat relevansi gagasan Kartini pada konteks sekarang ini.
Kartini adalah seorang pejuang anti-kolonial. Dia bisa menjadi inspirasi bagi kita, rakyat Indonesia, dalam memperkuat kembali semangat anti-kolonialisme guna membebaskan rakyat dari penjajahan modern atau neoliberalisme.

Bukankah Soekarno, bapak pendiri bangsa kita, sudah pernah mengingatkan, "Imperialisme yang memerintah bisa saja lenyap, tetapi imperialisme yang menguasai masih tetap tinggal, hanya penjajahnya, perilaku dan caranya yang berbeda, tetapi sistem kapitalisme-imperialisme Internasional bisa saja mencengkeram bangsa kita. (Indonesia Menggugat, 2010:2).

Kartini mungkin berhadapan dengan imperialisme klasik. Ia hidup di penghujung era tanam paksa. Dia belum sempat menyaksikan kekejaman imperialisme modern. Tetapi tidak ada salahnya mengambil semangat anti-kolonial Kartini sebagai semangat kita juga dalam menghadapi imperialisme modern.

PEREMPUAN

Kartini adalah perempuan seperti pada umumnya, namun semangat perjuangan yang mengalir dalam darahnya yang membuat dirinya menonjol. Banyak yang mengatakan bahwa kekuatan perempuan ada pada perasaan dan hatinya, benar karna ketegasannya ada pada kelembutannya. 

Namun harus diketahui, bahwa paham yang telah terpatri di benak perempuan, bahwa tempat yang paling layak bagi perempuan adalah dapur dan mengurusi pekerjaan rumah tangga adalah salah adanya.

Berdasarkan hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 jumlah penduduk Indonesia pada 2020 sebanyak 269,6 juta jiwa. Dimana jumlah laki-laki 135,34 juta jiwa, lebih banyak di banding perempuan yang hanya 134,27 juta jiwa.
Persoalannya bukan mengapa jumlah perempuan lebih sedikit dari pada laki-laki, namun bagaimana dampak yang tercipta dari semangat para penduduknya, termasuk perempuan.

Bukan sebagai patron, namun sebagai bahan untuk merenungi bahwa dari tujuh orang yang memimpin Indonesia, hanya satu perempuan yang pernah menjabat sebagai pemimpin Negara atau presiden.
Beda halnya dengan jumlah kursi di DPR pada periode 2019-2024 terdapat peningkatan jumlah anggota dewan perempuan, yakni 118 kursi atau 21 persen dari total 575 kursi di DPR diisi oleh perempuan.

Para penulis percaya bahwa emansipasi perempuan adalah jalan untuk membuat pandangan dan sistem yang adil bagi perempuan di mata publik. Lebih lanjut, perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam memperjuangkan apa yang menjadi cita-citanya baik dalam tatanan masyarakat, politik, dan pendidikan.

SEMANGAT

Kobaran api semangat Kartini yang berlapis-lapis telah menerangi jalan-jalan sunyi yang awalnya hanya diperuntukkan untuk kaum adam. Pertama, Semangatnya dalam memajukan pendidikan dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Model pendidikan neoliberal, yang menempatkan pendidikan sebagai barang dagangan, sehingga pendidikan hanya dinikmati kaum kaya, bertolak belakang dengan cita-cita pendidikan Kartini yang menghendaki pencerdasan seluruh rakyat tanpa diskriminasi.

Kedua, Semangat emansipasinya, yakni semangat yang menempatkan semangat emansipasi, termasuk emansipasi perempuan, sejalan dengan cita-cita nasional dan kemanusiaan.

Bukan emansipasi liberal yang menitik-beratkan kemajuan individual. Melainkan emansipasi kolektif, yakni kemajuan rakyat atau bangsa. Semangatnya bukan hanya untuk kemajuan perempuan saja, namun kartini selalu memikirkan kemajuan bangsanya secara kolektif dengan iringan semangat para perempuan.
Oleh karena itu, Kartini tidak hanya dikenal sebagai tokoh emansipasi, namun lebih jauh sebagai sosok aktivis Hak Asasi Manusia.

RELEVANSI

Apa saja pemikiran Kartini yang relevan dengan masa kini?
Pertama, pendidikan perempuan. Cita-cita Kartini tentang pendidikan perempuan sudah saatnya dihidupkan kembali. Perempuan, apa pun pilihan hidup dia nantinya, mau menjadi ibu rumah tangga ataupun bekerja, harus berpendidikan, minimal wajib belajar 12 tahun.

Kedua, kritik Kartini terhadap agama. Apalagi dengan adanya gerakan di masyarakat yang mendorong perempuan kembali ke ranah dan peran domestik, bahkan menerima poligami, karena ajaran agama. Inilah yang membuat Kartini relevan di masa sekarang, termasuk penolakannya terhadap poligami, meskipun ironisnya, ia memutuskan menerima pinangan pria beristri. Ini pilihan dilematis baginya.

Di masa itu, Kartini juga memikirkan tentang politik identitas, dan bagaimana pemerintah kolonial tidak sepatutnya merasa lebih memahami budaya Jawa dibandingkan orang Jawa, gagasan yang kini dipelajari dalam kajian post-collonial. Bila kita membaca kembali surat-suratnya, kita akan melihat bahwa Kartini adalah seorang pemikir, yang berani membuat keputusan meskipun tidak sepenuhnya bebas.

Sebagaimana para penulis yakini, bahwa ada alat yang lebih krusial daripada bambu runcing yang digunakan dari pembebasan dari penjajahan, juga pada sekat-sekat yang membatasi dan penindasan, yaitu "pikiran yang runcing".
Perjuangan gerakan perempuan adalah agar perempuan bisa membuat keputusan dengan bebas, apapun pilihan mereka.
Tuntutan persamaan hak dari satu sisi sangatlah benar, namun dari sisi lain sering bertabrakan dengan fitrahnya wanita. Hingga sekarang akan sangat sulit untuk tidak membedakan antara pria dan wanita, karena itu Tuhan menciptakan dua jenis manusia, tidak tunggal.

Wanita yang menuntut persamaan hak, seringkali disisi lain meminta untuk diutamakan atau diberikan perkecualian, hal ini yang menurut para penulis mengapa fitrah wanita dan pria berbeda.
Kartini sudah usai dengan perjuangan yang digelorakannya, namun semangatnya kiranya abadi pada kartini-kartini hari ini. Kerangka berpikir kartini yang begitu kritis dan semangat perjuangannya bisa diadaptasi untuk aspek-aspek yang lain seiring dengan pergerakan zaman.

"Atas dasar cita-cita untuk kemajuan, saya percaya bahwa perempuan dan  laki-laki tidak perlu berkompetesi untuk itu, namun berjuang secara bersama-sama demi kemajuan tanpa ada perbedaan-perbedaan yang berlandaskan gender"
 -- Agi Julianto Martuah Purba

"Kartini menjadi simbol pahlawan Srikandi Indonesia yang fotonya dipajang dibeberapa tempat, tetapi pemikirannya tidak banyak dikenal. Padahal, kalau kita baca surat-surat Kartini, ada begitu banyak hal yang menjadi sangat relevan dan penting pada era sekarang ini." -- Indra Sinamo


Posting Komentar

0 Komentar