Puisi-Puisi Jones Gultom

Sajak Tiurma
I
seberapa hijau cintamu mak, ketika ladang tak lagi menjanjikan
dari segala gundah kulihat matamu menjamur
siang belum usai tapi kau memilih pulang
“sudah saatnya mengutip jemuran”
pinggulmu tak menarik lagi
dulu aku menyanggah di situ sembari tanganmu mengayun padi di balok kayu
sudah luntur yakinmu pada boraspati ketika padi bunting angin? keringat pun tak lagi berbau gabah? 
kau menutup jendela setelah memastikan jumlah babi di lantai bawah
lantas bersenandung lirih “hari ini tak ada dedak”
tapi babi tak peduli
suaranya mengorokorok ke dolokdolok
 
malam itu samosir demonstrasi
suarasuara yang lapar dan berontak memantul ke bukit dan lembah
tentang nasib, tentang ladang, tentang pupuk, tentang tanah yang retak, tentang boraspati, kenapa makan jadi tawar menawar?
 
kasihanilah bapak yang termakan provokasi
hubungan apa perut dengan provinsi
hubungan apa babi dengan tapanuli
 
kasihan Tiurma yang tanpa sepatu menyusuri batubatu
demi citacitanya menjadi guru
 
mak, kenapa tak menancapkan lidi supaya sial ini pergi seperti yang pernah dilakukan ompung di masa PRRI? kenapa tak undang namboru bersandang pangan sirih?
 
seberapa hijau cintamu, mak bila di tanganmu waktu begitu gagu?
 
II
mamak gosong di tataring. periuk dan jelaga membayangi usianya.
ditatanya susunan batu agar api menyatu.
hari ini cuma ubi dan kepala batu. sebagian untuk Tiurma
sisanya dibawa ke ladang
kopi tinggal kerak menderakderak untuk bapak
 
Tiurma yang kelas lima itu mencari-cari topi merah bergambar tut wuri handayani
di atas mesin jahit tua, di bawah gambar soekarno, berita kerusuhan diumbar lagi
dari radio yang speakernya tinggal satu dengan kawat pengganti antena
 
- diamdiam Tiurma pergi
hari ini upacara bendera, dia bertugas sebagai paskibra-
 
mamak juga pergi, setelah memadamkan api
bapak hilang. kopinya tinggal separuh. “kurang kental.” keluhnya.
aku menghabiskan sisanya
 
masih pagi pintupintu sudah terkunci
kampung seperti tak pernah disinggahi matahari
di dalam rumah tanpa sekat itu, kelambu masih berdiri di ruang tengah..bongkol bawang menggantung di atas pintu lantai papan yang bercelah, babi saling bercanda, kalender tahun 2005, mesin jahit tua, gambar soekarno, abu perapian, jendela setengah terbuka, piring kaleng telungkup, termos yang tutupnya disumpal plastik, radio usang, bungkus rokok, lemari kecil yang rusak pintunya (kacanya tinggal separuh)
seperti menyindirku
 
masih pagi sekali ketika ubi yang mulai dingin, kepala ikan asin dan tiga biji cabe rawit menandai perutku… setelah itu aku membikin puisi lagi
 
III
hujan kali ini cukup serius di kampungku. tanahtanah yang kerikil, becek oleh taik lembu, babi, kerbau, anjing juga manusia. berjejak di jalanjalan halaman
 
sudah tiga jam.. di atas kampung bukit sama sekali tak terlihat
datanglah dia tergesa- gesa, “bapak si Tiur jatuh dari kereta. simanjujungnya pecah,” mamak terkejut, tanpa payung dia kabur.
 
-Tiurma sedang tidur di atas tikar pandan yang berlobang-
 
tak berapa lama warga datang, membawa bapak yang terpincangpincang
mamak langsung memerikasa lukalukanya..
-Tiurma masih tidur-
 
“di tekongan itu lae ini terpelesat pas mo belok,” tulangku angkat bicara
yang lain nganggukngangguk dan berdecak, “amang tahe,”sambil mulutnya mengunyah sirih. sebagian lagi sibuk mengeringkan rambut dengan handuk
aku segera membuat kopi serta menghidang ubi di piring kaleng berbelang hijau putih
“panggil dulu namborumu” pinta mamak. “pake handuk itu!” dia bergegas.
seorang bidan. masih muda, masih cantik, belum menikah, lulusan sarjana dari medan, katanya selain pintar mengobati adapula ‘pandepandenya’
kepala bapak diperban, setelah sebagian rambutnya yang mulai beruban dipotong..
kakinya cuma ditetesin betadine lantas diboyong masuk kamar. 
sehabis itu percakapan di ruang tengah berlanjut.
 
“kayak lain kutengok hujan ini,” seorang yang tua berpeci angkat bicara sambil tangannya melumat gudang garam merah. “perasaanku pun,” timpal yang lain. “Ate, boha menurut inang?”lanjutnya. si bidan yang ditanya senyum-senyum. sirih yang dipilinnya mulai dikunyah. mereka pun terus berbincang, yang pasif hanya mengangguk, menggeleng, berdecak, menghisap rokoknya sambil sesekali minta tambah kopi
 
sampai sore hujan belum reda. sebagian sudah pulang, termasuk si bidan
sepanjang tadi ada sesuatu di matanya…
 
 
 
IV
Tiurma menjerit melihat ada babinya yang mati
kebetulan jam juga mati; bukankah kematian tak butuh waktu?
mamak meloncat dari dapur, tali behanya terlihat di pundak
tangannya masih berdarah
 
hari ini dia mangarsik ikan mas
karena yakin Tiurma juara kelas
 
bapak sejak semalam tak pulang
kabarnya ikut barisan depan demonstrasi propinsi tapanuli
 
aku yang lumpuh hanya bisa menguping dari atas
sejak lama tak pernah turun ke bawah
tak sekali melihat babi-babi itu langsung
 
orang-orang berdatangan
“masih hangat..masih hangat.. barusan matinya ini”
 
lalu mereka menyuruk masuk
dari papan yang bercelah kulihat beberapa kepala
menyeret-nyeret tubuh babi yang tambun
mereka memutilasinya di halaman
 
meski ada yang mati
orang-orang kelihatan senang
tapi mamak, wajahnya terlihat dua  
Tiurma jadi urung sekolah
padahal hari ini terima rapor
 
tiba-tiba ompung jimmy berteriak
kupikir babinya juga ikut mati
orang-orang mengerumuni tv nya
“tengoklah itu kayak bapak si Tiur..”
kata-kata itu yang kudengar
 
ketika mamak pulang
matanya sembab, darah di tangannya mulai kering……
 
 
Deak Parujar
 
Awal mula mantra terbaca
pada pucuk-pucuk daun hariara
ketika langit koyak dan awan berpencar
oleh selendang Deak Parujar
sejak itulah nasib seperti layang-layang
terpancang di tanah terjulur ke langit
pada benang tiga warna
 
-sebatang hariara mulai tumbuh dari jantungku
akarnya menyesap dalam darah
dahannya menembus kepala
menyembul dari mulut dan mata
tangan menjelma ranting
di pundaknya bertengger manukmanuk hulambujati
 
 di timur aku tertancap
menghadap barat Bakkara
sebagai prasasti, janjimu pada Yang Bermula -
 
 
kini retak sudah tanah ini
danaumu tak lagi berpenghuni
pulaumu miring ke kiri
adakah naga padoha menggaruk punggungnya
 
Medan 2011

Posting Komentar

0 Komentar