Aku dan Kopi (04)

*Aishah Bashar
Kukenang sebingkai wajah pada sisa hujan sore ini. Seorang kawan. Bertahun sudah tidak berjumpa meski tetap berkabar. Pandemi ini melumpuhkannya hingga membawanya ke tempat para petani di dataran pulau Jawa. Dia menjadi petani kopi, sebuah dunia baru yang diakuinya sungguh menggairahkan dan membuatnya tidak lupa berbahagia.
Aku percaya betapa ia mampu untuk selalu tampil bahagia dalam kondisi apapun. Itulah kelebihannya. Dia selalu bisa menularkan kebahagiaan kepada orang-orang di sekelilingnya.  Sedang tangisnya ia simpan di sudut ruang, di bilik paling rahasia.
Apakah kau bahagia? Pertanyaan itulah yang sangat kuhapal darinya. Pertanyaan yang terkadang terasa tulus ingin tahu, terkadang menyimpan ragu, bahkan seolah bertujuan mengingatkanku agar jangan lupa bahagia.
Aku akan baik-baik saja. Jawabku selalu.
Baik-baik saja apakah berarti bahagia? Dia menguji.
Karena aku bahagia makanya aku baik-baik saja. Aku mengunci. Dan dia tertawa. Begitulah kami.
Kemarin dia bertanya lagi, apakah kau bahagia? Usah dijawab. Ini kukirimkan kopi hasil panenku. Nikmatilah. Aku mau pulang setelah pandemi usai. Aku rindu tanah kelahiran kita. Terlalu rindu.
Pada sisa hujan senja ini, kukenang garis-garis senyumnya sambil menghirup aroma kopi sarongge kirimannya. Di balik jendela, mataku membasah. 
(Barus, 05102020)

#30harimenulistentangkopi

Posting Komentar

0 Komentar