Mendengarkan Papua; pendekatan apa yg terbaik utk Papua?

Mendengarkan suara anak-anak muda Papua ini mengingatkanku pada kunjungan2 ke berbagai tempat di Papua/Papua Barat sktr 2013 sd 2016 yg lalu. Juga ada Surya Anta, yg sudah kita tahu pandangannya ttg Papua. 

Seperti Anta dan teman2 muda itu, cerita Papua adalah cerita kelam; kekerasan, konflik bersenjata, pelanggaran HAM, kemiskinan, dan kerusakan alam. Plus, stigma mengarah diskriminasi rasial juga sering kita amati terjadi  termasuk di media sosial. Dan, biasanya diakhiri dgn kesimpulan, referendum sbg jalan keluar.
Ingin meringankan beban diskusi, aku ceritakan pengalaman perjalanan ke Lereh, sktr 8 jam perjalanan dari Jayapura. Menginap di rumah salah satu warga yg sangat sederhana; ditawari tempat tidur terbaik dari seluruh tempat yg ada dirumah itu, juga disuguhi papeda dgn sup ikan, sesuatu yg belakangan aku tahu sudah jarang dikonsumsi karena mahal. Orang Papua itu generous sekali.
Dikesempatan lain mengunjungi warga disekitar perkebunan sawit di Manokwari. Tuan rumah juga selalu memberikan 'lebih' kepada tamu meskipun kehidupan begitu sulit. Ada rasa enggan disuguhi tempat terbaik dan makanan terbaik. Kunjungan terakhir, sehabis menjalani aktivitas di Sorong, menyempatkan diri ke Raja Ampat. Sejauh-jauhnya perjalanan yg pernah aku jalani, keindahan Raja Ampat, menurutku, masih nomer satu di dunia. 

"Iklan" pengalaman diatas  aku tutup dgn beberapa pandangan, merespon topik diskusi ini;

- Kekerasan dan siklusnya mesti dihentikan di Papua. Lapisan dan rantai kekerasan demi kelerasan yg terjadi puluhan tahun itu mesti dihentikan oleh semua pihak. 

-PR pelanggaran ham di papua musti dituntaskan. Artinya kalau berdamai, utang satu persatu harus dibayar juga. Sembari kasus berproses utk diselesaikan, sebaiknya lembaga2 negara terkait melakukan sesuatu kepada para keluarga korban yg masih hidup utk memastikan mereka bisa menjalani hidup dgn wajar. Meski kecil, tapi penyembuhan dini seperti ini mesti dilakukan.

-Tata ulang seluruh pengelolaan sumberdaya alam (yg berkelindan dengan konflik berkepanjangan), seperti deforestasi, perkebunan dan tambang. Para pemilik modal (asing dan lokal) tidak ayal, baik resmi maupun tidak, menggunakan apa saja utk keamanan dan keberlangsungan akumulasi masing masing. 

- Pemberantasan korupsi. Salah satu titik lemah Papua berada pada tingkat akuntabilitas birokrasi yg buruk. Otsus 20 th gagal juga kr garong anggaran besar2an. Tak heran, banyak bermunculan crazy rich yg lahir setelah berkuasa di birokrasi, baik sipil maupun keamanan. 
-Sebagai penutup, kita punya contoh terdekat solusi damai Aceh. Contoh jauh, Afrika Selatan. Mereka pada akhirnya bisa berjabat tangan separah apapun masa lalu mereka.

Jangan lupa, media sangat penting mengangkat narasi positif ttg orang, budaya, dan alam Papua. Yg ada saat ini, tiap hari, hanya narasi kekerasan saja. 

Jadi, apa pendekatan terbaik Jakarta utk Papua? Jawabannya: mendengarkan.
Mendengarkan suara anak-anak muda Papua ini mengingatkanku pada kunjungan2 ke berbagai tempat di Papua/Papua Barat sktr 2013 sd 2016 yg lalu. Juga ada Surya Anta, yg sudah kita tahu pandangannya ttg Papua. 

Seperti Anta dan teman2 muda itu, cerita Papua adalah cerita kelam; kekerasan, konflik bersenjata, pelanggaran HAM, kemiskinan, dan kerusakan alam. Plus, stigma mengarah diskriminasi rasial juga sering kita amati terjadi  termasuk di media sosial. Dan, biasanya diakhiri dgn kesimpulan, referendum sbg jalan keluar.

Ingin meringankan beban diskusi, aku ceritakan pengalaman perjalanan ke Lereh, sktr 8 jam perjalanan dari Jayapura. Menginap di rumah salah satu warga yg sangat sederhana; ditawari tempat tidur terbaik dari seluruh tempat yg ada dirumah itu, juga disuguhi papeda dgn sup ikan, sesuatu yg belakangan aku tahu sudah jarang dikonsumsi karena mahal. Orang Papua itu generous sekali.

Dikesempatan lain mengunjungi warga disekitar perkebunan sawit di Manokwari. Tuan rumah juga selalu memberikan 'lebih' kepada tamu meskipun kehidupan begitu sulit. Ada rasa enggan disuguhi tempat terbaik dan makanan terbaik. Kunjungan terakhir, sehabis menjalani aktivitas di Sorong, menyempatkan diri ke Raja Ampat. Sejauh-jauhnya perjalanan yg pernah aku jalani, keindahan Raja Ampat, menurutku, masih nomer satu di dunia. 

"Iklan" pengalaman diatas  aku tutup dgn beberapa pandangan, merespon topik diskusi ini;

- Kekerasan dan siklusnya mesti dihentikan di Papua. Lapisan dan rantai kekerasan demi kelerasan yg terjadi puluhan tahun itu mesti dihentikan oleh semua pihak. 

-PR pelanggaran ham di papua musti dituntaskan. Artinya kalau berdamai, utang satu persatu harus dibayar juga. Sembari kasus berproses utk diselesaikan, sebaiknya lembaga2 negara terkait melakukan sesuatu kepada para keluarga korban yg masih hidup utk memastikan mereka bisa menjalani hidup dgn wajar. Meski kecil, tapi penyembuhan dini seperti ini mesti dilakukan.

-Tata ulang seluruh pengelolaan sumberdaya alam (yg berkelindan dengan konflik berkepanjangan), seperti deforestasi, perkebunan dan tambang. Para pemilik modal (asing dan lokal) tidak ayal, baik resmi maupun tidak, menggunakan apa saja utk keamanan dan keberlangsungan akumulasi masing masing. 

- Pemberantasan korupsi. Salah satu titik lemah Papua berada pada tingkat akuntabilitas birokrasi yg buruk. Otsus 20 th gagal juga kr garong anggaran besar2an. Tak heran, banyak bermunculan crazy rich yg lahir setelah berkuasa di birokrasi, baik sipil maupun keamanan. 



-Sebagai penutup, kita punya contoh terdekat solusi damai Aceh. Contoh jauh, Afrika Selatan. Mereka pada akhirnya bisa berjabat tangan separah apapun masa lalu mereka.

Jangan lupa, media sangat penting mengangkat narasi positif ttg orang, budaya, dan alam Papua. Yg ada saat ini, tiap hari, hanya narasi kekerasan saja. 

Jadi, apa pendekatan terbaik Jakarta utk Papua? Jawabannya: mendengarkan.
Tidak lupa, saya nitip pesan, yok bikin Solidaritas Sumatera Papua, ayok kita pertontonkan bahwa anak-anak muda dia pulau bisa bersama-sama, berangkulang, tertawa bersama, dan saling menolong

Catatan : Saurlin Siagian

Posting Komentar

0 Komentar