KAMPUS RASA ORBA

Hari berganti hari, bulan berganti bulan begitu juga tahun berganti tahun. Tak terasa 3 semester saya menjalani perkuliahan di kampus tanpa warna ini, ya begitulah orang-orang menyebut kampusku. Kampus dengan slogan "Goes International". Mungkin sebagian orang menganggap kampus ku ini adalah kampus yang hebat, mampu mengirimkan mahasiswa terbaiknya (katanya) ke luar negeri atau yang biasa disebut debgan "Study Exchange". Apakah ini hebat? Ya. Disini saya ingin mengingatkan bahwasanya jangan melihat sesuatu dari luarnya saja. Mari kita tarik garis ke belakang, yaitu kehidupan di dalam kampus. 

Kampus dengan penguasa yang hanya mementingkan isi perut mereka tanpa mementingkan mahasiswanya, penguasa yang diperbudak jabatan, bahkan mereka tega mengorbankan mahasiswanya demi kepentingan pribadi mereka sendiri, miris bukan? Ya, begitulah keadaan kampus saya ini, kampus tanpa warna, sebuah kampus yang ternama dan sebuah kampus yang menpunyai segudang prestasi. 

Kehidupan didalam kampus tak seindah covernya. Mahasiswa hidup dibawah tekanan yang sangat kuat bahkan masalah yang sangat pribadi pun harus di urusi, lucu bukan? Baru-baru ini pihak kampus mengeluarkan peraturan secara sepihak, peraturan yang sangat tidak masuk di akal sama sekali. Pelarangan rambut gondrong misalnya, sebelum jauh membahas gondrong saya ingin bertanya kepada pembaca, apakah rambut gondrong itu salah? Mungkin kita sepaham, secara logika rambut gondrong sama sekali tidak ada hubugannya dengan pendidikan
Ini sudah seperti kembali zaman orba, Pada dekade pertama Orde Baru, ihwal rambut gondrong rupanya menjadi anasir serius dalam pemberitaan media-media Jakarta. Rambut gondrong dianggap tak mencerminkan “kepribadian bangsa.” Militer pun merasa perlu membikin kebijakan khusus untuk perkara ini. Terjadi razia di jalan-jalan. Bukan senjata yang ditenteng –modal utama saat membungkam komunisme sepuluh tahun sebelumnya, melainkan gunting! Otoritarianisme, dengan logika rust en orde ala ekonomi pembangunan, menjalar ke batas paling personal dari hak individu menentukan idealisasinya.

Dalam buku Dilarang Gondrong! Praktik kekuasaan Orde Baru terhadap Anak Muda Awal 1970-an, Aria Wiratma Yudhistira mengurai persoalan ini menjadi kajian sejarah sosial yang unik dan jarang disentuh para peneliti sebelumnya. Dia menelusuri suratkabar dan majalah guna menarasikan paranoid yang melingkupi pemerintahan Soeharto.

Tahun 1970-an adalah kurun awal Soeharto memainkan perseteruan antar-elit milter dengan membiarkan kedua kaki-tangannya, Soemitro dan Ali Moertopo, bersaing. Pintu modal asing dibuka seluasnya. Para teknokrat lulusan Berkeley menduduki jabatan strategis dalam kebijakan ekonominya. Proyek “bersih lingkungan” dari “virus komunisme” diperkencang.

Di sisi lain, dunia dilanda demam hippies sebagai perlawanan budaya. Tren fesyen mendapat tempatnya pada diri musisi-musisi beken selagi terjadi ketidakpercayaan yang cukup lebar di antara kaum muda terhadap kaum tua. Menyebar melalui koran, majalah, serta radio dan film-film, anak muda di kota-kota besar di Indonesia terbawa pengaruh mode macam ini. Mereka menyalurkan ekspresi kebebasan dengan membiarkan rambut tumbuh gondrong, celana berpotongan cutbrai, pakaian tampil kedodoran.

Mereka anak muda dalam pengertian sebatas pengikut gaya hidup. Namun, ada sekelompok anak muda, umumnya mahasiswa, yang makin muak dengan arah pemerintahan Orde Baru. Ironisnya, mereka merupakan pendukung awal Orde Baru yang menjatuhkan kekuasaan Sukarno. Mereka melawan korupsi. Mereka melawan militer. Mereka melawan fusi politik. Mereka juga menentang proyek Taman Mini Indonesia Indah yang diusulkan Tien Soeharto.
Pengertian “pemuda” di kurun ini dicitrakan sebagai golongan yang mengkhawatirkan. Para pejabat di Jakarta melihat tindak-tanduk pemuda sudah di luar hasrat impian orang tua. Ada debat opini dalam suratkabar. Ini sungguh berkebalikan dengan dinamika yang terjadi pada awal kemerdekaan –yang digambarkan begitu apik oleh Benedict Anderson dalam Revolusi Pemuda. Penyosokan pemuda berambut gondrong, dengan pakaian informal, bicara blak-blakan, dalam revolusi fisik merupakan anasir patriotik. Singkat kata, identifikasi pemuda pada 1970-an melanggar pakem kekuasaan Orde Baru, dengan gaya Jawanisme –pengertian bahwa pemerintah adalah “bapak” sementara warga sipil adalah “anak-anaknya”. Politik berubah menjadi kredo personal para penguasa.

Para bedinde Orde Baru mulai risih terhadap hal-hal yang berbau urakan. Pada 1971, artis-artis berambut gondrong dilarang tampil di TVRI. Pelan-pelan, larangan ini menyebar ke gedung-gedung pemerintahan, sekolah, kampus, serta tempat publik.

Institusi militer yang mula-mula memberlakukan larangan tertulis. Pada 15 Januari 1972, Jenderal Soemitro, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, menginstruksikan kepada bawahannya agar “menyelamatkan pertumbuhan atau perkembangan kehidupan pemuda-pemudi remaja kita.” Ia diperkuat oleh instruksi Presiden Soeharto, merangkap Panglima ABRI, agar Kepala Staf Angkatan dan Kapolri, serta institusi di bawahnya, “membubarkan perkumpulan anak-anak muda dari keluarga di lingkungan ABRI.” Tujuannya, “mencegah timbulnya pengaruh” yang dapat “merugikan nama baik ABRI di mata masyarakat.” Eufemismenya adalah menghindari “anak-anak muda” tak terlibat “kegiatan yang menjurus perbuatan kriminal.”

Kuasa atas tubuh pria kian menjadi-jadi setelah Soeharto mengirimkan radiogram agar anggota ABRI dan karyawan sipil yang bekerja di lingkungan militer beserta anggota keluarga mereka untuk tidak berambut gondrong. Akhirnya, pada 1 Oktober 1973, Jenderal Soemitro mengeluarkan pernyataan dalam acara bincang-bincang di TVRI: “Rambut gondrong membuat pemuda menjadi onverschillig alias ‘acuh tak acuh’.” Batas waktunya 5 Oktober, hari ulangtahun ABRI. Alhasil, anak-anak dari keluarga polisi dan militer beramai-ramai mencukur rambut.

Ini semua terjadi sebelum meletus Peristiwa 15 Januari 1974, atau dikenal dengan Peristiwa Malari, yang menjadi titik balik bagi gerakan pemuda pendukung awal Soeharto.

Buku ini mengisi celah kosong akan literatur gejala diktatorsip Orde Baru, dengan mengambil sudut paling sempit dan elementer. Dirigisme “ekonomi sebagai panglima” tak cuma menyumbat saluran politik dan kebebasan ideologi, tapi juga menjangkau hal-ihwal sepele berupa rambut kepala.

Sayangnya, terlalu banyak informasi background yang ditebarkan Aria Wiratma Yudhistira, penulis buku ini, mengingat studinya demi kepentingan skripsi dan tak mengalami perubahan signifikan untuk kepentingan bacaan buku. Bangunan cerita dibuat melingkar dan tebal guna menuju bagian khusus menyangkut langsung kebijakan larangan rambut gondrong.

Sesungguhnya, satu dekade kemudian, sikap kebencian militer Orde Baru pada kuasa atas tubuh tak sepenuhnya menghilang. Hampir setiap hari ditemukan mayat bertato dengan luka tembak. Tato dianggap sinyalemen subservif. Usai Soeharto tumbang, seiring menguatnya wacana syariat Islam, giliran warga sipil yang mendominasi, dan dampaknya tak kalah serius bagi kebebasan individu.

Rambut gondrong dianggap kriminal dan penjahat tetapi faktanya justru mereka lah yang berpakaian rapi yang jadi penjahat, buktinya para koruptor sangat berpakaian rapi tapi mencuri uang rakyat. Sedangkan orang yang berambut gondrong hanya ingin mengekspresikan hidupnya. Bukankah negara ini negara yang menjunjung tinggi demokrasi? Dan juga kita tahu bahwa di negara ini setiap orang bebas untuk mengekspresikan dirinya. Karena sejatinya rambut gondrong adalah manifestasi diri dalam menunjukkan kebebasan berekspresi tanpa represi. Tak ada yang salah dengan gondrong, jadi mengapa harus dilarang gondrong? Sebuah pertanyaan sederhana yang tidak dapat di jawab oleh mereka para penguasa kampus. 

Hak mahasiswa dirampas, suara mahasiswa dibungkam! Bukan tanpa usaha, beberapa mahasiswa pernah melakukan aksi damai dan meminta mediasi tapi hasilnya nihil. Para penguasa otoriter hanya mementingkan diri mereka sendiri tanpa memikirkan nasib para mahasiswanya, sungguh miris bukan? 

Lain lagi dengan mahasiswa yang melawan demi kebenarannya yang diperjuangkan selalu dibayang-bayangi dengan sanksi DO atau skorsing. Pendidikan macam apa ini? Mendidik dengan menghukum adalah ide yang sangat tidak cemerlang. Ini yang membuat taring pergerakan mahasiswa menjadi tumpul, mahasiswa menjadi takut untuk melawan dan akhirnya kebanyakan mahasiswa zaman sekarang hanya sebagai mahasiswa pengejar IPK dan mulai bersifat apatis terhadap masalah sosial di sekitarnya. Secara tidak langsung penguasa kampus sudah mematikan pergerakan mahasiswa.

Ayolah kawan-kawan mahasiswa, bangkitlah untuk melawan untuk hak-hak kita, kalau tidak sekarang kapan lagi? Ini sudah situasi yang sangat gawat darurat, sedikit demi sedikit fungsi mahasiswa itu akan hilang! 

Salam Mahasiswa! 
Hidup Mahasiswa! 
Salomo Y. R Lumbangaol

Posting Komentar

0 Komentar