*Sebut Saja Tedy
Hujan turun di sore yang sedikit
berasap. Teh susu setengah gelasku di atas meja sedang berhadap-hadapan dengan
lima gelas kopi “Socrates”. Saya memandangi teh susu yang saya pesan dan gelas-gelas
kopi “Socrates” pesanan kawan-kawan
saya. Mereka sedang asyik membincangkan seputar film. Saya asyik mendengarkan
perbincangan mereka, sambil memikirkan nama-nama minuman kami di atas meja.
Sementara lidah saya, sibuk mencecap rasa “sedikit manis banyak pedarnya” dari
asap kretek yang berdesakan di dalam mulut. Bibir saya, mencari-cari jejak rasa
dari bibir kekasih di malam-malam purnama.
Lambat laun, tentang nama-nama
minuman di atas meja itu, lebih mendominasi pikiran saya. Frasa teh susu, tidak
menimbulkan banyak pertanyaan. Bila teh dicampur dengan susu, maka frasa teh
susu, faktual adanya. Meskipun akan lebih tepat bila diberi frasa teh ‘condensed milk’. Sebab apa yang disebut
‘susu’ yang dicampurkan kedalam teh pesanan saya itu, bukanlah susu yang ‘susu’,
melainkan susu yang telah dihilangkan kandungan airnya lalu dicampur dengan
gula dan lemak, sehingga apa yang disebut ‘susu’ itu bukanlah susu yang sebenar
susu, seperti susu yang dihasilkan ibu sapi, ibu kera, ibu manusia, dan segala
ibu dari jenis mamalia yang jaya di daratan, lautan serta udara.
Suara guruh dari petir (yang
entah dimana menyambar apa) mengalihkan sejenak pikiran saya dari nama-nama
minuman di atas meja itu, kepada ingatan akan berita tentang Ponari. Saya, kemudian iseng bertanya pada otak saya; “hey
Tak, kenapa suara guruh, mengingatkanmu akan Ponari dan batunya, dan gelas, dan
air di dalam gelas, dan air di dalam gelas yang tumpah sejumlah massa jenis
batu yang dimasukkan ponari kedalam gelas, dan orang-orang yang mengantri, dan
orang-orang yang mengantri meminum air dari gelas yang ada batu yang dimasukkan
Ponari, dan orang-orang yang minum air itu, dan orang-orang yang mengaku
sembuh, dan biaya rumah sakit, dan uang kuliah jurusan kedokteran, dan BPJS dan
seterusnya yang pakai dan?”.
Otak saya memproses pertanyaan
iseng itu (betapa ‘lugu’nya otak saya ) sebelum kemudian otak saya, dengan
kelicikannya, ‘menajamkan’ pendengaran saya, lalu mengalihkan perhatiannya
(otak saya-pen) pada perbincangan kawan-kawan saya, benar-benar sebuah upaya
licik yang indah untuk menghindari pengakuan bahwa dia (otak saya-pen) tidak
dapat menjawab pertanyaan iseng itu.
Kawan-kawan saya semakin asyik
membincangkan soal film, tetapi perbincangannya sudah lebih mengarah kepada
pemeran utama dalam film-film yang
mereka perbincangkan (lagi-lagi otak saya butuh waktu untuk menyadari
kegagalannya menautkan nama-nama pemeran utama dengan data yang pernah ada dan
direkamnya).
Kawan-kawan saya itu,
benar-benar kawan saya, tetapi belum
benar-benar menjadi kawan bagi otak saya. Otak saya kembali melakukan ‘lompatan
kelicikan’ yang indah. Dia kembali memproses nama-nama minuman di atas meja. Kali
ini dengan sedikit ‘agak’ mengalah.
“Baiklah, untuk meminimalisir
kompleksitas variabel yang ada, maka, bila seandainya ‘condensed milk’ telah
menjadi susu yang sebenarnya susu dalam pandangan kultur yang ada, maka frasa teh
susu, berasal dari teh yang dicampur dengan susu. Oleh karenanya, Kopi Socrates
adalah kopi yang dicampur dengan ?”
“ Oh, apakah Socrates dapat larut
didalam air? Apakah Socrates berdiameter lebih kecil dari diameter gelas kopi
di atas meja? “
Begitulah kira-kira pertanyaan
yang di lontarkan otak saya kepada saya. Bersebab saya, sangat mengasihi dan
mencintai otak saya, maka saya memutuskan untuk membantunya, setelah mengecewakannya
beberapa kali. Saya mengambil ponsel yang katanya pintar milik tangan dan mata
saya, kemudian menyampaikan pertanyaan saya pada algoritma mesin pencari Google
yang maha tahu tetapi belum tentu maha benar. Begini kira-kira hasil pencarian
yang saya temukan :
Ternyata Socrates adalah makhluk
yang disebut oleh makhluk hidup yang mengaku manusia sebagai manusia lainnya. Kemudian
manusia menyebut Socrates sebagai filsuf.
“Semua filsuf berasal dari
golongan manusia”, “ Socrates adalah seorang filsuf” begitu gumam otak saya.
“Jika manusia dapat memahami
bahasa hewan dan tumbuhan secara utuh menyeluruh, maka manusia adalah filsuf
yang sebenarnya”, “Manusia tidak dapat memahami bahasa hewan dan tumbuhan
secara utuh menyeluruh” Otak saya kembali bergumam.
Atas dasar kasih sayang dan cinta
akan kesehatannya, maka dengan lemah lembut, saya meminta otak saya untuk
berhenti bergumam. Otak saya menurut (sebab kelicikannya) dan kembali memproses
informasi dari Wikipedia yang di perkenalkan oleh google, jari dan mata saya
kemudian menautkannya dengan pertanyaan “Apakah Socrates dapat larut di dalam
air?” dan pertanyaan “Apakah Socrates berdiameter lebih kecil dari diameter
gelas kopi di atas meja?”
Kawan-kawan saya, mulai berdebat
soal pemeran utama dari film mana yang lebih cantik. Mereka menyusun
argumentasi mereka masing-masing berdasarkan ukuran dan bentuk dari bagian
tubuh masing-masing “jagoannya”, selain warna kulit dan intensitas adegan
ranjang dalam film-film yang pernah ‘dibintangi’. Saya sangat menikmati perbincangan mereka itu,
sambil merekonstruk gambar dan adegan di dalam otak kesayanganku. Mereka benar-benar
kawan-kawan ‘kesayangan’ yang layak kupanggil ‘bosque’. Tetapi mereka belum
dapat menjadi kawan-kawan yang dapat dipanggil ‘bestque’ oleh otakku. Sebab
ternyata otakku kembali menggelinjang diserang ‘birahi penasaran’ soal ‘kopi
socrates’.
Atas dasar kasih sayang dan cinta
akan kesehatannya, maka dengan lemah lembut, saya menggiring otak saya untuk
menuntaskan birahinya itu. Saya hendak bertanya pada kawan-kawan saya perihal
kopi Socrates itu, tetapi urung, sebab saya mencintai otak saya. Bukan berarti
kawan-kawan kesayangan saya itu tidak dapat membangun argumentasi logis terkait
Kopi Socrates yang berdiam manja di dalam gelas di atas meja itu, tetapi,
sesadar-sadarnya kesadaran, saya memahami bahwa selogis apapun argumentasi yang
dibangun oleh kawan-kawan saya itu, maka argumentasi-argumentasi itu pada
akhirnya, hanyalah tafsir atas Kopi Socrates. Sebab kawan-kawan saya itu,
bukanlah sumber pencetus dan atau pencipta ‘Kopi Socrates’ itu. Oleh karenanya
selogis apapun argumentasi yang dibangun oleh kawan-kawan saya itu, akan jauh
dari faktualitas akan Kopi Socrates yang berdiam manja di dalam gelas di atas meja.
Mengetahui kesadaran yang saya
bangun itu, otak saya ‘mencium’ mesra dinding dalam ubun-ubun kepala saya (saya
tidak tahu, apakah otak saya punya tentakel atau tidak). Saya kemudian
memutuskan meninggalkan perbincangan yang bertambah-tambah menyenangkan (kawan-kawan
saya sudah mulai membahas soal kamasutra dan ‘kamar dagang daging’), saya menjumpai
pemilik warung kopi, lalu menanyakan perihal ‘Kopi Socrates’.
Biji kopi yang digunakan berasal
dari Lintong, Sipahutar dan Gayo, Jenis
Arabica. Jenis biji kopi itu kemudian dipanggang hingga level medium lalu di ‘giling’
sampai halus. Pada fase ini belum ada percampuran biji kopi itu dengan Socrates.
Air mineral direbus hingga mendidih lalu di diamkan selama dua hingga tiga
menit. Empat sendok bubuk kopi tadi di tuang kedalam gelas kopi lalu di seduh
dengan air mendidih yang telah di diamkan tadi. Pada fase ini juga belum ada
percampuran antara kopi dan Socrates. Otakku menunggu, saat-saat penjabaran proses
pencampuran antara kopi dengan Socrates.
“Kapan kopinya di campur dengan
Socrates bang?”
: Pada saat saya mengaduknya.
Penjelasan pemilik warung kopi
itu membuat otak saya semakin menggelinjang (oh, betapa lugunya otak saya)
: Pada saat saya mengaduk itulah,
saya mencampur Socrates kedalam kopi, hingga kopi ini, saya beri nama ‘Kopi
Socrates’
“Bagaimana caranya?” Kesadaran
saya menolak Penjelasan pemilik warung kopi. Otak saya sepakat dengan kesadaran
saya. Pemilik warung kopi itu kemudian membisikkan jawabannya ditelinga saya. Otak
saya kemudian gagal membangun struktur logis dalam proses penalarannya, oleh
karenanya saya tertawa lepas. kopi Socrates itu, kemudian singgah ke dalam
mulut saya sebelum ‘bergerilya’ ke kerongkongan hingga ke toilet terdekat.
kesadaran saya, memaksa bibir saya tersenyum. Bibir saya, masih mencari-cari
bibir kekasih yang tak lagi dapat dijangkau mata kabarnya.
Saya kemudian memesan segelas
kopi pada pemilik warung itu. Pemilik warung itu, lantas tertawa lepas sembari
berteriak sekencang-kencangnya; “Siaaap, Kopi Marhia Ohzawa, akan segera di
antar!”
Pemilik warung kopi itu mengisi
gelas kopi dengan empat sendok bubuk kopi, lalu menyeduhnya dengan air mineral
yang direbus hingga mendidih lalu di diamkan dua hingga tiga menit. Tatkala
mengaduknya, Pemilik kopi memejamkan matanya, kemudian mengaduk kopi itu
perlahan-lahan sambil senyum-senyum sendiri.
*penulis adalah pemalas yang jarang keramas
1 Komentar
Menggelitik dan asik, benar adanya pemikiran sang teddy :)
BalasHapus