MITOS TENGKULAK


Oleh: Robby Fibrianto Sirait*
Meskipun hujan turun, langit tidak mendung. Matahari begitu bebas memancarkan sinarnya. Membuat anak-anak di suatu desa yang sedang bermain sepak bola, yang bolanya terbuat dari pelastik, merasa air yang turun membasahi kepala mereka tidak lama lagi akan berhenti. Sementara itu beberapa ibu-ibu, orang tua dari anak-anak itu, berteriak dari pinggir lapangan. Menyuruh anaknya pulang ke rumah. Kegembiraan berganti menjadi kekecewaan. Permainan berhenti. Mereka kekurangan pemain.
Beberapa anak lagi, menolak patuh kepada orang tuanya. Hujan akan segera berhenti, kata mereka. Namun, tetap saja permainan tak bisa dilanjutkan. Beberapa anak lainnya telah keluar dari lapangan. Mereka tak berani kepada orang tuanya.
Beberapa ibu mulai merasa jengkel dengan perilaku anaknya yang melawan. Memasuki lapangan, mulai menggunakan kekerasan. Menjewer anak-anaknya, lalu menariknya sampai ke rumah. Sedangkan salah satu dari ibu disana, membawa rotan yang biasa dipakai untuk membanting tilam yang dijemur, memukul anaknya yang tak mau keluar dari lapangan.
*******
Ada suatu fenomena yang terjadi di desa itu. Orang tua mulai kesulitan mengatur anak-anaknya. Cara-cara kekerasan sekalipun tak mempan membuat anak-anak itu patuh. Ada kabar yang berkembang. Gereja di desa itu, melalui pendetanya, memberi tafsir bahwa ketidakpatuhan itu adalah tanda-tanda kiamat atau akhir zaman. Tafsiran itu membuat keresahan dan menjadi perbincangan yang hangat di warung-warung kopi, warung-warung tuak, teras-teras rumah tetangga yang menjadi pusat ghibah ibu-ibu, serta di sela-sela peristirahatan para petani saat mereka sedang makan siang.
Itu adalah buatan setan, ucap pendeta gereja sekali, di atas mimbarnya kala ia berkhotbah pada suatu minggu. Tak lama, ada kabar terbaru lagi. Ketidakpatuhan itu terjadi karena perbuatan seorang pemuda tengkulak, yang baru enam bulan menetap di desa itu. Kabar baru itu berasal dari Tipas, seorang lelaki tua kaya, yang juga seorang tengkulak di desa itu. Tipas cukup dihormati masyarakat, dan sering memberi sumbangan ke gereja, dan satu-satunya orang yang memiliki mobil di desa itu. Ia mengatakan bahwa fenomena itu terjadi sejak Dapot, si pemuda tengkulak, pindah ke desa mereka.
Entah kenapa, sebagian besar masyarakat percaya. Tak ada keraguan sedikitpun kepada ucapan si Tipas, yang bisa jadi sedang memanfaatkan situasi, untuk menyingkirkan saingan bisnisnya. Pasalnya, setelah kedatangan Dapot, masyarakat yang hampir seluruhnya bekerja sebagai petani, mulai meninggalkan Tipas. Mereka menjual hasil tanahnya kepada Dapot yang membayarnya jauh lebih tinggi.
Namun, ada pula kemungkinan ucapan si Tipas benar. Sebab kenyataannya, anak-anak di desa itu memang sering kali mengunjungi rumah Dapot dan bisa disana selama beberapa jam. Saat ditanya, apa yang mereka lakukan di rumah Dapot, mereka tak mau menjawab.
Akhirnya, Dapot yang selama ini dianggap menjadi juru selamat oleh masyarakat, sempat dianggap menjadi tengkulak yang baik, kini mulai ditinggalkan. Sedangkan Tipas yang sempat ditinggalkan petani, kini bisa tersenyum lagi, setelah para petani datang kembali kepadanya.
***
Anak-anak itu, yang telah dilarang orang tuanya mengunjungi rumah Dapot, rupanya masih terus kesana. Dapot yang dianggap sebagai utusan setan, pembawa malapetaka, dan mengajarkan kesesatan, justru dianggap anak-anak itu sebagai guru dan pembawa kebenaran. Ucapan Dapot, melekat kuat di kepala mereka. “Kita dilahirkan oleh orang tua. Kita diberi makan dan dibesarkan oleh orang tua. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita memberi rasa hormat kepada mereka.”
“Namun, kenyataannya orang tua tak selalu benar. Saat mereka salah, kita layak melawan pendapatnya. Tapi ingat. Yang kita lawan bukan orang tua kita. Tapi pendapatnya.”
Sungguh, begitu pula lah yang dilakukan oleh anak-anak itu sebenarnya. Mereka tidak melawan orang tuanya. Tapi melawan pendapatnya. Namun, orang tua di desa itu, tidak mengerti. Yang mereka pahami, saat anak-anak memberi pendapat yang berbeda dari mereka, dimaknai sebagai bentuk kedurhakaan dan ketidakpatuhan.
***
Bisnis tengkulak Dapot berhenti. Masyarakat petani rela menjual hasil tanamannya kepada Tipas dengan harga murah. Mereka rela rugi demi membuat Dapot angkat kaki dari desa itu. Dapot yang tak lagi memiliki pekerjaan, akhirnya pindah ke kampung halamannya. Suatu desa, di tepi Danau Toba, Pulau Samosir.
Setelah Dapot pindah, anak-anak di desa itu seperti kehilangan gurunya. Aktivitas mereka kontras berubah. Biasanya, tatkala siang hari berdiskusi di rumah Dapot,  kini mereka berada di rumah masing-masing. Mereka tak diberi keluar rumah oleh orang tuanya. Dan mereka seperti kehilangan keberanian untuk menolak kepatuhan.
Keadaan telah kembali seperti dulu kala. Orang tua di desa itu tak lagi sulit mengatur anak-anak mereka. Tipas kembali berkuasa menjadi tengkulak satu-satunya. Namun, para petani menjadi semakin menderita. Hasil tanaman mereka menjadi sangat murah karena terpaksa. Mereka tak punya pilihan, selain menjualnya kepada Tipas. Ketiadaan akses dan jaringan keluar desa terpaksa menyerahkan nasibnya kepada Tipas.
Sementara, di atas penderitaan para petani, di salah satu ruangan rumah yang besar, pesta bir tertutup sedang dilaksanakan. Tipas berbagi bir bersama seorang sahabatnya. Pesta bir itu dibuka dan ditutup dengan doa.  Isi doanya berterima kasih kepada Tuhan atas kiamat atau akhir zaman yang tak jadi datang. Dan sahabatnya itu adalah pendeta gereja yang pernah memberi tafsir tanda-tanda akhir zaman telah datang. Mereka tertawa terbahak-bahak.
Selesai.

Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah UNIMED.
Pernah menulis novel berjudul Panca in Dira, dan beberapa cerpen yang diterbitkan di blog maupun di media online.

Posting Komentar

0 Komentar