Oleh Christian Hutahaean***
Pada tahun 1964, ketika pemimpin Republik Maluku Selatan (RMS) ditangkap dan akhirnya diseret ke muka pengadilan, ada sebuah kejadian menarik. Adalah Christiaan Robert Steven Soumokil yang menolak menggunakan bahasa Indonesia dalam memberikan keterangan selama persidangan. Presiden RMS itu bersikukuh menggunakan bahasa Belanda di sepanjang persidangan. Alhasil, para pengadil dibuat kewalahan selama persidangan.
Apa yang membuat kejadian ini menarik bukanlah sebagian Orang Maluku (Moluccans) yang hendak merdeka sendiri sebagai sebuah bangsa dan menolak bersatu dengan Indonesia. Bukan pula sekadar Bahasa Belanda yang dipakai Soumokil dalam menghadapi penghakiman atas dirinya. Tapi yang menarik adalah fakta bahwa sebenarnya Soumokil sangat fasih berbahasa Indonesia. Dan lebih menarik lagi apabila kita mencoba menangkap apa yang hendak disampaikan oleh Soumokil melalui tindakannya itu.
Mungkin sebagian orang akan menilai tindakan Soumokil sebagai bentuk arogansi. Atau mungkin ia akan dianggap sok-sok an karena toh Belanda tak pernah mengajarkan bahasa ibunya (Moedertaal) selama menjajah Nusantara sampai Politik Etis diterapkan. Atau, sama seperti saya, ada yang menganggapnya sebagai sebuah ekspresi perlawanan.
Terlepas dari persoalan Republik Maluku Selatan (RMS) yang hingga hari ini masih bagaikan bom waktu, bagi saya tindakan Soumokil tersebut adalah sebuah ekspresi perlawanan yang biar bagaimanapun, harus dihargai oleh setiap orang. Karena tindakan Soumokil itu juga adalah bagian dari haknya sebagai manusia. Manusia yang merdeka.
Sikap dan tindakan Soumokil pada saat itu juga dapat dikatakan sebagai ujian bagi sistem peradilan di Indonesia, yaitu bagaimana Hakim memperlakukan seorang terdakwa yang duduk di kursi pemeriksaan menunggu hukumannya. Ketika menulis esai ini, saya masih merupakan seorang mahasiswa Fakultas Hukum. Sebagai seorang yang belajar hukum, saya punya satu adagium hasil kontemplasi saya sendiri (yang sudah pasti tidak legitimate karena berasal dari pemikiran seseorang yang bahkan belum sarjana) yang selalu saya tanamkan dalam hati. “Keadilan adalah manakala setiap mahluk punya kesempatan yang sama untuk menegakkan keadilannya masing-masing”. Demikian bunyi adagium itu.
Kembali lagi soal tindakan Soumokil sebagai ekspresi perlawanan. Sebagaimana diantarkan di awal, Soumokil bukannya tidak bisa berbahasa Indonesia. Sebaliknya, sama seperti orang-orang Maluku lainnya, ia pun fasih berbahasa Indonesia. Maka, sudah jelas apa yang ia lakukan di ruang sidang adalah sebuah perlawanan. Tindakannya tersebut juga dapat dipahami sebagai sebuah upaya untuk menunjukkan eksistensi. Dan perlawanan tersebut tentunya tidak bisa dibaca sebagai tindakan yang arogan, melawan norma, mempersulit proses pemeriksaan dan semacamnya karena tindakan tersebut memiliki konteks. Konteks yang dimaksud dalam hal ini adalah upaya sebagian orang Maluku untuk memisahkan diri dari Indonesia dan mendirikan negara sendiri.
Konteks yang dimaksud juga adalah bahwa Soumokil memiliki alasan yang kuat atas tindakannya. Dapat kita bayangkan alasan tersebut adalah bahwa Soumokil tidak mau memakai bahasa dari negara (Indonesia) dimana ia tidak merasa menjadi bagian dari negara tersebut. Lebih jauh lagi, dapat kita bayangkan Soumokil tidak mau memakai bahasa dari negara yang ia anggap telah menghalanginya untuk merdeka bersama bangsanya. Maka, apa yang dilakukan oleh Soumokil tidak lain adalah penegasan bahwa ia memiliki identitas yang berbeda dengan bangsa Indonesia, baik dalam perspektif kultural maupun politis.
Koteka orang Papua
Peristiwa yang kurang lebih sama dengan peristiwa Soumokil terjadi lagi akhir-akhir ini. Adalah aktivis-aktivis Papua (Papua Barat) yang memakai Koteka di ruang sidang sebagai ekspresi perlawanan. Akibatnya, hakim memutuskan untuk menunda persidangan hanya karena persoalan Koteka. Tidak mengherankan hakim mengambil tindakan semacam itu, karena mereka memang melihat “Koteka di ruang persidangan” hanya sebagai wacana peradaban. Sama sekali tanpa konteks. Setidaknya, ada dua hal yang harus dipahami dari peristiwa ini.
Pertama, jika hakim melihat dan menilai Koteka hanya dari kacamata peradaban, tentu penilaian itu tidak dapat dibenarkan dan harus dinyatakan sebagai diskriminasi dengan alasan yang sama sekali tidak relevan. Diskriminasi karena peradaban seyogianya tidak pernah memiliki tolok ukur yang benar-benar objektif. Siapa yang punya otoritas untuk menentukan bahwa kemeja merupakan busana orang beradab sedangkan Koteka orang Papua tidak? Atau kalaupun Koteka dianggap tidak memenuhi standar peradaban, lantas siapa yang harus disalahkan? Sebab begitulah kebudayaan yang dimiliki orang Papua sejak awal. Kendati demikian, yang lebih penting diperhatikan adalah persoalan diskriminasinya. Hakim, atau siapa pun boleh-boleh saja memandang kebudayaan orang lain (budaya orang Papua misalnya) sebagai sesuatu yang tidak beradab (Uncivilized). Namun, menggunakan pandangan tersebut sebagai alasan untuk mendiskreditkan dan mendiskriminasi adalah tindak pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Kedua, dalam peristiwa ini, sangat perlu bagi hakim untuk memahami betul konteks persoalan yang sedang diperiksanya. Hakim tidak bisa bersandar hanya pada subjektivitasnya saja. Alasan-alasan di balik tindakan terdakwa harus bisa dipahami oleh hakim agar tidak menjadi penghalang jalannya pemeriksaan di pengadilan. Hal ini juga berkaitan dengan hak-hak terdakwa. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kita mengatur bahwa terdakwa berhak untuk segera dituntut. Artinya, proses penuntutan harus dilakukan sesegera dan seefektif mungkin. Tidak boleh diulur dengan alasan yang tidak relevan, bahkan terkesan absurd seperti dalam peristiwa dimana hakim mempersoalkan Koteka yang dikenakan para aktivis Papua di ruang sidang. Nyatanya, penundaan persidangan aktivis Papua karena alasan busana ini telah mencederai prinsip-prinsip peradilan.
Peristiwa penundaan persidangan terhadap aktivis Papua karena alasan Koteka ini lagi-lagi memperlihatkan bahwa “Orang Indonesia” belum bisa adil pada orang Papua. Terlihat jelas dalam peristiwa ini bagaimana tindakan-tindakan orang Papua sekonyong-konyong dilihat sebagai persoalan peradaban. “Orang Indonesia” tidak melihat (atau pura-pura tidak melihat) bahwa tindakan-tindakan tersebut sebenarnya adalah ekspresi perlawanan dan penegasan eksistensi. Alih-alih mendengarkan suara penegasan itu, “Orang Indonesia” dengan superioritasnya, justru memandang orang Papua sebagai manusia tak beradab. Memandang orang Papua hanya sebagai segerombolan kriminal yang melanggar aturan. ”Orang Indonesia” nyatanya belum bisa adil sejak dalam pikiran sebagaimana sabda Pram dalam Bumi Manusia. Sekali lagi, berhentilah bicara soal peradaban ketika bicara soal Papua dan Kotekanya. Karena ini tak lagi sekadar soal peradaban, melainkan ekspresi perlawanan.
***Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
0 Komentar