Desi Natalia Anak Sekolah

Desain Renjaya Siahaan

Oleh : Pdgsgk
Seperti biasa, udara dingin di pagi hari menusuk hingga ke tulang-tulang. Sungguh pagi yang dingin. Burung burung berkicau dari sarangnya di ranting pohon nangka tua di depan rumah—sebuah keindahan tiada tara.

 Sarapan sudah beres—tersedia di atas meja. Nikmat. Nikmat sekali. Pagi ini sarapan di temani kopi pahit yang di beli dari pasar terasa menyegarkan. Begitulah setiap hari. Keindahan pemberian Tuhan. Tidak kelaparan, meski kadang masih menghutang.

Baiklah, Sudah waktunya berangkat ke ladang untuk bekerja. Rutinitas bekerja di ladang tidak bisa di tinggalkan. lalang dan tumbuhan liar lainnya sudah pasti menutupi tanah dan bisa memperlambat perkembangan tumbuhan yang ditanam.

**
Pak Tambok, begitu orang menyebutnya segera meraih cangkul cap buayanya. Dibawanya di pundak sembari merokok. Seperti biasa, dia menapaki jalan tikus menuju ladang kopinya. Disana, dia ingin membabat rumput liar di antara kopi kopi nya. Bagi nya tumbuhan liar itu akan mengganggu pertumbuhan kopi.

Pak Tambok  hidup dari ber ladang kopi. Kopi sigarar utang mereka sebut, satu jenis varian kopi di daerah sumatera. Entah alasan apa disebut sigarar utang. Tapi sesumbar pak Tambok pernah bilang itu karena di desa mereka orang orang membayar hutang dengan memanen kopi. Istilahnya kopi si pembayar hutang.

Di ladang, pak Tambok mengeluhkan. Rumput rumput liar itu tumbuh leluasa tidak peduli kehadiran sang empunya tanah. Dia juga mengeluhkan cuaca yang tidak menentu, dengan begitu kopi pun tidak berbuah sementara kebutuhan hidup semakin tak menentu. Semakin sulit untuk dipenuhi. Hutang ke tengkulak menumpuk. Ah, entah bagaimana nanti membayarnya.

Di desa pak Tambok hanya tahu cara menanam, mengurus, memetik kemudian menjual.  Tidak tahu bagai mana mengolah dan bahkan menganggap kopi yang di tanam bukan untuk di konsumsi. Ditempatnya besar itu, dia hanya tahu kopi di produksi untuk jadi bahan cat. Entah sejak kapan stigma itu tertanam.

Disana juga dia tidak berhak menentukan harga. Baginya ada saja yang di panen sudah cukup. Makan untuk besok pun sudah cukup. Ah, hidup memang kejam. Hal ini membuatnya mengeluh terus menerus, sembari berfikir, jalan satu satunya bagi dia untuk lepas dari penderitaan ini adalah dengan tidak membiarkan anak cucunya masuk kelubang jarum yang sama. Melalui apa ? terbesit dalam bayangan pak lambok sekolah. Ya. Sekolah lah yang mampu mengubah roda nasib ini, setidaknya itu pernah dia dengar dari pemerintahan setempat. Sekolahkan anak anda untuk hidup yang lebih baik.
Ahh. Baiklah. Sudah diputuskan.

**
Pak Tambok dengan penuh semangat menyekolahkan anaknya di sekolah dasar di desanya. Satu mimpi yang terus menerus dia ingat berharap kelak anak cucunya tidak menjadi petani miskin seperti dirinya. Satu mimpi yang terus melekat. Di sekolah itulah dia gaungkan cita citanya. Disana lah harapan itu melekat. Desi natalia, anak satu satunya harus sekolah dengan harapan masa depan tidak semenderita hari ini.

Desi Natalia merasa senang di sekolahkan ayahnya. Disana dia menemukan teman baru. Bersosial baru, bermain dengan suasana baru. Menemukan cita cita baru—bukan petani tentunya.
Sekolah yang dia tempati juga tidak mendidiknya menjadi petani. Dia di didik untuk belajar ilmu ilmu yang asing bagi dia. Sesuatu yang tidak bersentuhan dengan apa yang melekat di dalam dirinya. Dia didik menjadi yang lain—yang bukan petani. Tidak bersentuhan dengan kopi dan tengkulaknya. Tidak bersentuhan dengan kopi dan produksinya.

Kini, sekolah sudah semacam candu bagi desi, tamat SD, lanjut lagi ke SMP, SMA dan kini di bangku kuliah.
Ayahnya mati matian menyekolahkannya hingga bangku kuliah. Wahhh. Betapa hebatnya desi ini, bisa melaluinya dengan baik.
Tetapi, pak Tambok tidak lupa pada perjuangannya selama ini. terbayang suatu kali saat uang sekolah harus di bayar dan pak Tambok tidak memiliki uang. Terpaksa dia harus menggadaikan tanahnya ke pengusaha. Lama lama, kebutuhan sekolah juga terus menerus meningkat. Sementara hasil pertanian semakin menurun. Batang kopi sudah semakin menua. Tak ada jalan lain kecuali menjual tanah itu secara utuh. Si pengusaha dengan senang hati menyambut.
Sekarang pak Tambok tak memiliki tanah. Desi sudah tamat sekolah.

Tanah yang dulu miliknya kini sudah jadi kebun pengusaha. Di tanah itu, pak Tambok mengiba untuk di berikan pekerjaan oleh pengusaha. Kini dia menjadi buruh tani.
Di tempat lain, anaknya mati matian mencari kerja. Kemudian  bekerja di salah satu perkebunan di desa dekat kampungnya. Menjadi buruh juga tentunya.

Ohh desi anak sekolahan, entah ini salah siapa, dulu ayahmu adalah raja atas tanahnya, kini menjadi budak. Dulu kau di sekolahkan untuk mengubah nasib, malah  menjadi pekerja bagi orang lain. Karenamu tanah terjual. karenamu ayah menjadi buruh di atas tanah milik keluargamu yang dulu.  ah Betapa hina hidup ini memperlakukan kita.  Anak sekolah yang malang.
Medan.

Posting Komentar

0 Komentar