HILANG

Cerpen : Camelia Asmawiyah
“ SEKARANG, TAK HANYA LANGIT PETANG KEMERAHAN ITU SAJA YANG KAU CURI
MALAMKU.... 
GEMERLAPANKU.... 
PUN IKUT KAU CURI 
LALU, KEMANA LAGI AKU HARUS BERLARI, JIKALAU AKU DIBURU OLEH RINDUMU?”

Angin berhembus tenang, ditemani ombak yang bernyanyi riang menutup petang. Jingganya mampu menahan beberapa orang, untuk tetap disini dan memandang lebih luas kedalam diri. Beberapa pertanyaan hadir menggerogoti alam bawah sadar yang sering kali terabaikan. Pertanyaan-pertanyaan filsafat yang sengaja entah dari mana didatangkan. Ambigu, keliru, dan sendu.

Lelaki itu lagi...
“ Lelaki yang terhitung sudah 7 kali kutemui di bibir pantai ini. Aku bahkan, belum pernah melihatnya selama 1 bulan yang lalu. Dia ...
memotret dengan pandangan yang kosong pula, sebenarnya dia siapa? Benar-benar aneh”

Masih ditempat yang sama, gadis berkulit putih itu terus bertanya-tanya, tanpa menunggu satupun jawaban dari apa yang dilihatnya. Pensilnya masih menari-nari dikanvas putih itu. Hanya dengan menambahkan pewarna maka lukisannya akan indah dengan sempurna. Seminggu sudah lukisan ini dikerjakannya, namun belum selesai juga. Alleta memang begitu, hanya akan melakukan sesuatu jika ia suka. Ada yang aneh dengan Alleta. Gadis  berbola mata coklat itu,masih hanyut dibawah alam sadarnya. Pandangannya belum lepas  sedikitpun. Entah apa yang membuat Alleta, sepenasaran itu. Tidak biasanya.

Ada yang berbeda dengannya, jika para fotografer disini kebanyakan memotret objek manusia,maka salah satunya bukan dia.Hanya senja yang mampu menarik perhatiannya. Senja yang membawa Bunda pergi ketempat yang sangat indah petang itu. Yah semenjak kepergian Bunda, Alpha berubah 180 derajat dari sebelumnya. Bagi Alpha semua sudah tidak ada artinya. Hanya Bunda, yang paling mengerti, hanya Bunda yang selalu ada. Ayahnya? Ada. Hidup tapi mati. Konotasi yang kasar, benar. Bunda pergi juga karenanya.

Brak.....
Anak-anak pesisir itu baru saja menabrak papan lukis Alleta tanpa sengaja.
Alleta terkesiap menatap mereka satu persatu, dengan tatapan penuh kekesalan. Emosinya memuncak begitu saja. Alleta yang anggun, mendadak berubah menjadi monster yang menyeramkan. Gadis kecil berambut hitam pekat itu tertunduk menatap ngeri Alleta.

“ Oh My God, sial. Dasar anak-anak nakal. Lihat apa yang sudah kalian lakukan? Kalian baru saja merusak lukisan saya”. Ujarnya dengan nada yang keras.
“Maaf Mbak , Anjani dan Arga ndak sengaja”. Ujar Gandis lirih.
“Kamu bilang maaf? Apa kamu pikir setelah kamu minta maaf lukisan ini akan kembali?”. Tanyanya membentak.
Alpha benar-benar terganggu dengan suara keributan itu. Ia menemukan sosok Gandis adik sepupunya, Anjani dan Arga , adik-adik sanggar lukisnya bersama  seorang wanita yang sepertinya datang dari luar kota dan  seumuran dengannya. Tak tau sedang meributkan apa. Tapi yang Alpha rasa, sepertinya terjadi sesuatu hal kepada adik-adiknya.

Benar, 
Adik-adiknya itu baru saja merusak lukisan gadis kota itu,lukisan yang akan ia sertakan dalam pergelaran pameran pertamanya di Ibukota. Lukisan yang akan menjadi pelengkap,puluhan lukisan sebelumnya. Alleta hanya punya waktu 3 hari lagi untuk kembali ke Jakarta. Dan sekarang, lukisannya robek tak berharga.
“Maaf Mbak, ada apa yah?”. Tanya Alpha yang mendadak datang dari belakang Alleta.

Alleta terperanjat mendengar suara itu, dan berbalik begitu saja.
“Kamu gak lihat....”. Ucapannya terhenti begitu saja, ketika ia menyadarai bahwa lawan bicaranya adalah lelaki itu.
“Mas Alpha, tadi Arga dan Anjani ndak sengaja nabrak lukisan Mbak nya, jadi rusak deh”. Ujar Arga menjelaskan dengan penuh rasa bersalah.
“ Yaampun, Mbak maafin adik-adik saya yah”. Ujar Alpa seraya meraih lukisan yang robek itu.
 “ Oh jadi ini adik-adik kamu, diajarin dong sopan santun. Lihat tuh lukisan saya, lukisan ini hidup mati saya, pameran pertama saya akan gagal kalau lukisan ini gak selesai, saya gak tau  harus ngapain sekarang”. Ujar Alleta, bersimpuh dipasir yang berhadapan langsung tepat dengan langit biru yang berhias warna jingga.
Alpha memandangi lukisan itu cukup lama, hingga akhirnya ia tersadar Alleta sudah terduduk dipasir dengan wajah yang sangat berantakan. Sementara adik-adiknya masih berdiri dengan penuh rasa bersalah.

“Ayo bangkit, saya janji akan mengganti lukisannya. Yah walaupun, gak sebagus lukisan kamu ”. Ujarnya menarik tangan Alleta.
Alleta tidak banyak protes. Ia tak punya banyak pilihan sekarang, walaupun ia tak begitu yakin dengan ucapan lelaki ini barusan.

“Gandis, kamu bersihkan sanggar yah. Selesai shalat Maghrib nanti, Mas mau ngerjain lukisan. Kalian semua pulang,mandi dan shalat ”. Ujarnya. 
Hanya tinggal mereka berdua yang tersisa. Alpha memotret sekali lagi,bukan hanya pantai dan senja. Tapi juga Alleta.
“ Mau pulang sekarang ?”. Tanyanya pada Alleta.

“ Belum,saya belum puas menatap langit sore ini”. Ujarnya lirih. 
“ Kenalin, saya Alleta”. Ujarnya mengulurkan tangan mungil itu dengan hangat.
“ Aahah, saya sudah tau. Itu “. Menunjuk kalung yang dikenakan Alleta.
“ Oh, maaf”. Ujarnya tersenyum kecil.
“ Saya Alpha”. Ujarnya datar, tanpa menatap mata Alleta sedikitpun. Alpha menghembuskan nafasnya sejenak,seraya memeluk hangat senja, sebelum mengikhlaskan kepergiannya.
“Titip salam ku untuknya, padamu sebelum menutup hari. Tidak ada yang tersisa setelah kata pergi. Selain kenangan dan selebihnya rindu”. Ujarnya setengah berbisik.

Alleta tak mendengarnya dengan sempurna, tapi dari tatapan lelaki itu, Alleta mengerti ada kesedihan didalam wajahnya.
“ Mari ikut saya”. Ujarnya.
Pada akhirnya semua akan kembali, yang datang akan pergi, yang pergi akan pulang, yang pulang akan hilang. Dan hanya langit senja itu,  yang bisa memainkan perannya dengan sangat sempurna.
Azan Maghrib berkumandang. Mushola itu dipadati banyak orang, khususnya para pendatang. Ini adalah salah satu tempat terbaik untuk berpulang, mencari arti tenang, dan mencipta hati yang senang. 
Alpha sudah berdiri dihadapan Alleta yang sudah menunggu lama sejak tadi diteras mushola. Tanpa bertanya-tanya.
“ Mari ikut saya ke sanggar”. Ujarnya datar.
Alleta tak banyak bicara, entah apa yang membuatnya begitu percaya dengan lelaki ini, lelaki yang baru saja ia kenal dalam hitungan jam barusan.

“Lukisan yang penuh makna”
Kalimat pertama yang keluar dari mulut Alleta saat menjejakkan kaki di pelataran sanggar. Langkahnya terhenti lama. Memperhatikan goresan demi goresan tanpa cela. Itu baru satu, dari ratusan lukisan milik tangan Alpha. Tempat ini yang menjadi saksi. Sanggar yang menjadi rumah kedua Alpha setelah kepergian Bunda. Menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk sebuah kepuasan dan kesenangan pribadi. Lalu kembali meratapi hidup , yang pahit dan menyimpan jutaan rasa sakit.
Alpha 

Sosok yang tak bisa dikenali seluruhnya
Kedalamannya juga tak terhingga
Ketulusannya tak ada yang bisa menduga
Alpha membuka jendela, yang menghubungkan ruangan itu pada indahnya langit malam di pantai Natal. Bintang-bintang bertaburan, menyatu, memberikan kekuatan. Lukisan terindah yang pernah Alpha lihat. Mungkin kehilangan memang menyakitkan, tapi ....
“Alleta, mau sampai berapa jam lagi berdiri diluar?” Tanya Alpha dari bilik jendela.
Alleta tersadar, dan berdecak kagum menatap sosok itu. Ia berlari menaiki satu persatu anak tangga. Betapa semangatnya Alleta, sampai akhirnya terjatuh di anak tangga terakhir.

Arghhhhhh....
Gadis itu berteriak kesakitan, Alpha berlari menghampirinya.
“ Oh my god, Alpha”. Ujarnya lirih menahan sakit.
Alpha segera memapahnya kedalam sanggar tanpa banyak bicara.
“ Sakit?”. Tanya Alpha, lebih tepatnya meledek seraya mengurut kaki Alleta.
“ Sakitlah, kamu pikir aku becanda”. 
Alpha tersenyum menatapnya, senyuman pertama yang Alleta lihat dari raut wajah itu.
“ Sudah berapa lama kamu tidak tersenyum?”
Pertanyaan Alleta barusan menjadi boomerang tersendiri untuk Alpha, 
Alpha memalingkan wajahnya keluar jendela, benar kata Alleta. Sudah lama sekali dirinya tak tersenyum. Tapi, mengapa wanita itu sepertinya tau banyak hal, tentang hidup Alpha?

Entahlah
Alpha menarik nafas dalam-dalam, mengabaikan ucapan itu dari alam bawah sadarnya. Segera ia raih kanvasnya, untuk memecah keheningan jiwa. Alleta masih duduk manis disampingnya. Menyaksikan gerak tangan Alpha tanpa ingin banyak bicara. Alleta sadar ucapannya barusan, seharusnya tidak seharusnya keluar dari mulutnya.

Setengah jam berlalu tanpa kata. Saling bungkam diruangan yang penuh makna. Sampai akhirnya Arga datang, memecah suasana.
“ Assalamualaikum Mas, Mbak”
“ Waalaikumussalam, sendiri kamu Ga?”. Tanya Alpha.
“ Iya Mas, Mbak Gandis lagi sibuk belajar persiapan Ujian SBMPTN untuk mendaftar kuliah. Ini tadi Mbak Gandis titip goreng pisang, sama kopi kesukaannya Mas Alpha. Monggo dicobain”. Ujar Arga ramah pada Alleta khususnya.
“Hmm terimakasih yah Arga, di makan Ta”. Ujar Alpha.

“ Iya Mas sama-sama. Arga pamit pulang yah Mas, mau bantuin Ibu jualan, warung lagi ramai-ramainya”. Ujarnya tersenyum izin pamit pulang.
“ Oh begitu yah Ga, ya sudah. Makasih yah Ga”. Ujarnya.
Kembali diam membisu, Alpha fokus pada lukisannya. Handphone Alleta berdering sejak tadi tanpa balasan. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. 2 jam sudah mereka bersama ditempat ini. Lukisannya masih setengah, dan pertanyaan di kepala Alleta semakin sempurna. Tapi, ia tak mau memecah fokus Alpha. Bagaimanapun Alpha sudah menolongnya.
“ Handphone kamu berisik, kenapa gak diangkat saja. Siapa tau penting?’’. Tanyanya.

“Gak ada yang penting. Itu orang suruhan Dady, yang ngawasin aku berhari-hari disini”. Ujarnya ketus.
“ Kamu bawa bodyguard?”. Tanya Alpha tak mengerti.
“ Iya. Lebih tepatnya, diawasi secara paksa. Dady itu berlebihan, over protektif. Saya ini bukan anak-anak lagi, dari kecil Dady selalu memaksakan kehendak atas hidup saya. Sampai sekarang, bahkan saya gak punya hak atas diri saya sendiri. Sebenarnya Dady ingin saya melanjutkan perusahaan, mengurusi semua perusahaan menggantikan ia dihari tua. Tapi saya juga punya mimpi, jadi pelukis Go International. Pameran ini saya buat, juga demi meyakinkan Dady kalau saya bisa mandiri dan mewujudkan impian saya. Sejak dulu saya hanya boneka Dady. Hmm, maaf yah saya jadi curhat”. Ujarnya tersenyum getir.

“ Hmm, saya gak tau, kalau sampai seperti itu”. Ujarnya lirih.
“ Itu udah jadi takdir hidup saya. Setiap kita punya porsi masing-masing. Senang bisa berkenalan dengan kamu Alpha, maaf saya jadi banyak merepotkan. Lukisanmu bagus semuanya. Yah semoga suatu nanti kamu mau saya buatkan pameran. Dan soal lukisan saya yang rusak itu, tidak usah terlalu kamu pikirkan. Mungkin saya harus menunda pameran ini , sampai bulan depan. Ini kartu nama saya, kalau kamu perlu sesuatu, jangan sungkan menghubungi. Sudah jam 9, saya harus kembali ke Villa”. Ujarnya tersenyum.
Alpha tertegun sejenak, mendengar ucapan Alleta yang begitu bijaksana menyikapi kehidupan. Tidak seperti Alpha yang begitu banyak mengeluh dan mengutuk diri selama ini.

“ Saya antar kamu, sudah malam. Bahaya ”. Ujarnya.
Vespa itu yang menjadi saksi perjalanannya. Hanya itu yang Alpha bawa dari rumahnya di Ibukota dan alat-alat lukis didalam sanggar. Semenjak kepergian Bunda, Alpha berjanji dalam diri, untuk tidak akan pernah kembali.
Alleta melambaikan tangannya, sebagai salam perpisahan kepada Alpha sebelum berlalu kedalam Villa. 

Sejak malam itu, mereka tak pernah lagi bertemu. Jelas saja, saat itu juga Dady memerintah pengawalnya untuk membawa pulang Alleta secara paksa ke Ibukota, karena Alleta tidak memberikan kabar sedikitpun.

Keesokan harinya, Alpha kembali. Ia sudah menyelesaikan lukisan itu khusus untuk Alleta. Wanita yang berhasil membuatnya sadar akan banyak hal yang bahkan tak pernah dipikirkannya. Namun sayang, Alpha tak lagi menemukannya. Dengan berat hati, ia kembali ke sanggar setelah mengetahui kepergian Alleta. Ternyata, pertemuan itu singkat sekali. Menemukan untuk lalu merasakan kehilangan yang menyakitkan.

Sesesak itukah rindu? Yang terus terpenggal oleh hilang. Ataukah ini yang dinamakan setengah mati itu?  Dimana ragaku bernafas, jantungku berdegup lepas, namun dadaku serasa terkelupas, engkau menyeret hatiku hingga luka itu semakin dalam dan kandas. Setidaknya, beritahu aku,sesakit inikah yang mereka sebut dengan kehilangan?

“Bukankah kita sama? Menganggap yang mati bernyawa, mungkin kamu pernah bertanya jawab dengan kanvasmu, mungkin.....
Seperti halnya aku yang bercerita banyak hal pada kameraku, termasuk tentang HILANG
AKU, KAMU, KITA SAMA ANEHNYA

Posting Komentar

0 Komentar