Kerajaan Mas Todon

Ilustrasi  Renjaya Siahaan

Oleh Febry Pramasta Said
Belakangan ini, negara tetangga terus di hebohkan dengan fenomena kemunculan kerajaan-kerajaan baru. Tak tanggung-tanggung jumlahnya, lima kerajaan yang di lahirkan bak cendawan dimusim penghujan. Seperti halnya kerajaan sungguhan,  Kerajaan-kerajaan tersebut juga disertakan permaisuri, pengawal kerajaan, juga istana keraton dan pastinya tak ketinggalan segala bentuk pernak-pernik kekerajaan yang sah.

Di negara kami, yang sebagian masyarakatnya masih di import dari negara tetangga yang merantau mengadu nasib sebagai pedagang bakso, mie ayam, ayam penyet, es dawet ayu, dan segala macam makanan khas negara tetangga, bahkan tak sekedar jadi penjual makanan atau minuman, demi laju pembangunan negara kami ini, para tenaga ahli bangunan pun di datangkan berombongan seperti orang naik haji.

Negara kami tak mau ketinggalan dalam menyikapi fenomena negara tetangga. MasTodon, warga kami yang datang berpuluh-puluh tahun lalu dari negara sebelah, dan sudah di akui kwalitasnya untuk menjadi warga negara kami yang sah mulai kasak-kusuk tak karuan belakangan ini.

Awalnya MasTodon datang ke negara kami bukan seperti perantau kebanyakan, ia datang tujuannya untuk berkesenian. Alamak! Tak ada rupanya kesenian di negaranya? Ya, tujuan MasTodon datang ke negara kami cuma untuk bermain drama di taman budaya yang perlahan mulai bangkrut dan di landa lepra. Padahal kalau di pikir-pikir, mengapa pula MasTodon harus mendatangkan dirinya ke negara kami yang aduhai ini, setidaknya kalau hanya untuk urusan drama mendramai, negaranya tak jauh lebih maju ketimbang negara kami yang lebih senang menanam beton dan besi ketimbang menanam kebudayaan dan kesenian.

Baiklah, singkat ceritanya. MasTodon yang sudah berpuluh-puluh tahun melalang buana dalam dunia perdrama-dramaan kini mulai sedikit dilema. Pasalnya, honor berkesenian yang selama ini ia dapati nyatanya tak cukup untuk menghidupi ke empat anaknya yang sebagian masih ingusan. Belum lagi tuntutan ini itu dari istrinya, Imah. Pemangku jabatan dari dinas terkait kesenian yang sering mampir ke padepokannya pun sekarang ini sudah jarang datang memberi kejutan proyek. Pusing tujuh keliling MasTodon memikirkan itu. Sebab dana untuk pertunjukan dari bos-bos kesenian kini juga ikutan di garap sama tengkulak-tengkulak dari negara tetangga.

Segala bentuk tetek bengek di rumah, iuran sekolah, dan uang listrik yang semakin meninggi, juga biaya kesehatan, meski MasTodon perokok aktif yang tanpa secara langsung ikut menyumbangkan biaya kesehatan kepada negara melalui pajak rokok yang ia beli, ia masih kelimpungan hidup di negara yang melulu di landa kemacetan.

Suatu hari, ketika MasTodon sedang bengong di bale samping rumahnya, di waktu senja-senjaan dengan segelas kopi yang di campur jagung, terbesit dalam pikirannya untuk mendirikan sebuah kerajaan. Entah bisikan gaib apa yang memasuki daun telinganya. Tapi yang pasti, kabar fenomena kerajaan-kerajaan baru di negara tetangga juga marak di perbincangkan di warung kopi yang tak ada nuansa senja-senjanya sedikitpun. MasTodon pernah di tanyakan pendapatnya mengenai fenomena tersebut, ya dengan antengnya MasTodon menjawab: "Ya, itukan paling ulah para seniman yang sedang mencari panggung baru. Panggung yang jangkauannya lebih luas. Panggung yang dapat di lihat orang dari layar kaca, dan di liput dari berbagai media mainstream. Mungkin mereka kehabisan job dari bos-bos kesenian, ya mungkin saja seperti itu". Alhasil, keplokan tangan  seragam pun mulai di dapatinya, juga tawaan dari orang-orang yang memiliki anggapan bahwa MasTodon akan memberikan jawaban dari kacamata intelektual. Lah mana bisa, ya sesuai kacamata seniman dong. Kalau mau nuntut jawaban yang ada nilai intelektualnya, ya pergi ke kampus-kampus, tanya sama mereka yang berseragam intelektual.
Setelah merenung cukup lama, dan yang tersisa tinggal bubuk kopi, MasTodon memutuskan ia harus bergerak secara revolusioner. Seperti negara tetangga yang terus-terusan memakai kata Revolusi sebagai kampanye perubahan. Ia harus menciptakan perkembangan baru dalam urusan drama-dramaan.

Harus mengupgrade kurikulum drama yang mulai usang. Pertunjukan tidak harus terbatas pada panggung pertunjukan. Pertunjukan tak pula terbatas pada penonton dalam ruang teater. Setiap pertunjukan harus di liput media televisi. Tak cuma wartawan koran, sebab sekarang ini kertas-kertas koran lebih berguna untuk di jadikan pembungkus cabe di pasar.

Selama ini, media televisi kan jarang sekali meliput pertunjukan drama. Paling tidak hanya pertunjukan wayang yang juga di import dari negara tetangga. Ia ingat dengan jawaban yang pernah ia lontarkan, bahwa kerajaan-kerajaan baru itu adalah ulah keisengan dari seniman-seniman negara tetangga yang ingin mengupgrade seni pertunjukan. Bagaimana kalau ia buat pertunjukan semacam itu di negara ini?
Bukan hal yang sulit baginya untuk melakoni raja-rajaan. Ia pernah berkali-kali terlibat dalam pertunjukan-pertunjukan kolosal. Mengambil cerita kegagahan raja-raja dahulu kala, kemudian bangkrut di invansi kerajaan lainnya. Semacam lakon peperangan antara kerajaan pendiri negara kami melawan pendiri kerajaan negara tetangga. Untuk hal demikian, Ia memiliki pengalaman yang cukup untuk mempertunjukan itu ke seluruh warga negara yang baik budi.

Baiklah, ia mulai mempersiapkan kerajaan barunya. Setiap kerajaan harus memiliki istana, permaisuri, pengawal kerajaan atau tentara kerajaan, juga ornamen-ornamen yang mengindentifikasikan sebuah kerajaan. Tak palah sulit baginya untuk menciptakan itu semua. Pertama-tama ia mulai mendekorasi ulang padepokannya dengan ornamen-ornamen kerajaan yang mengikuti zaman. Lalu, Imah yang keseringan memakai daster diubahnya dengan memakai pakaian khas permaisuri kerajaan, lengkap dengan atribut-atribut kepemaisuriannya. Riasan wajahnya penuh make up, lebih tepatnya lagi mirip badut ulang tahun, semakin menampakkan gaya kerajaan baru yang lebih milenial. Untuk urusan pengawal kerajaan, ia cukup menghubungi rekan-rekan sejawatannya, ia mendiskusikan dan meminta restu kepada rekan-rekan untuk ikut ambil bagian pada momen penting semacam ini. Tidak boleh tidak! Kita harus berpartisipasi dalam hiruk pikuk perkembangan zaman. Kita tidak boleh kalah dari seniman-seniman negara tetangga. Kita harus jadi cikal pembaharuan, meski cara yang kita lakukan sekarang ini lebih mencontoh ke mereka, tetapi tak apa, kedepannya kita pasti bisa lebih maju dalam hal kesenian. Ujarnya, kepada kawan-kawan.

Nah yang paling penting dari keseluruhan rencana, haruslah memiliki nama. Agar para wartawan tak kesulitan menulis berita di medianya. Setelah perdiskusian yang cukup alot dengan rekan-rekan, dengan kesepakatan bersama, maka diputuskan lah nama yang tepat untuk kerajaan baru; Kerajaan MasTodon!

"Dengan ini saya mendeklarasikan sebuah agen perubahan yang akan menyelamatkan saudara-saudara sekalian dari kebangkrutan pikiran dan finansial, agen tersebut ialah sebuah wadah di mana di dalamnya terdapat nilai-nilai keluhuran manusia dan hewan juga tumbuhan yang ketiga unsur tersebut harus saling menghormati tidak boleh saling menyakiti atau merampas hak hidup satu dengan lainnya. Wadah tersebut bernama, Kerajaan MasTodon! Dan saya sendiri adalah raja yang sah yang diakui oleh segala elemen kehidupan. Hidup kerajaan MasTodon. Panjang umur kerajaan Mastodon. Sekali lagi saya pekikkan, panjang umur kerajaan Mastodon!".
Medan, 08 Februari 2020

Posting Komentar

0 Komentar