Puisi-puisi Ramadhan Kareem
I
Suaka durjana
Adalah berani
Jika kebenaran dan kematian adalah saudara karibnya
Jika kau tak mengenalnya
Kebodohan akan menjemputmu
Dengan kendaraan beremerek suram
Membawamu ke suaka durjana
Dan mulutmu mempunyai sebuah budaya
Melamut dan menjilat
Kaki-kaki para anjing dan serigala
Berbulu domba
(2020)
II
Suaraku seketika redup
Suara-suara telah meredup
Dengkingya tak lagi mampir
Pada telinga-telinga Gedung pencakar langit
Gedung itu adalah tempat tidur kedua setelah rumah
Disaat suara-suara kami
Menjadi senjata andalan
Mereka melawannya dengan tong kosong
(2020)
III
Tadarus
Purnama telah memakai baju kebanggaannya
Melantunkan syair-syair agung
Penuh dengan khidmat
Para lintang mengikuti langgam
Yang begitu serdam
Sementara, ibu hendak tadarus malam itu
Menuju majelis diiringi isak tangis
Air mata jatuh mengikis langkahnya
Seakan kapan terakhir aku dibuainya?
(2020)
IV
Mudik
Barangkali lebaran tahun ini
Bulan sedang rindu
Melihat aku duduk diatas
Kesedihan tanpa dirimu
Menggaung dari kedalaman jurang
Gema takbir menabuh
Hati para perantau
Langit-langit murung
Bertabur sejuta angan
Meratapi mudik yang menjadi impian
Untuk seorang aku yang tinggal kenangan
(2020)
V
Rajam
Malam merajam pertemuan kita
Dibawah pohon beringin
Aku selalu ingin
Mencintaimu dengan cara melupakan aku
Di selasar rumah tak beratap
Aku berencana ini adalah rumah terakhirku
Bersamamu menunaikan rindu
Disaat kita sedang membenci waktu
Tak ada lagi karangan bunga
Hanya ada karangan sajak-sajak
Untukmu aku persembahkan
Sepasang pusara diatas tanah
Yang tak lagi subur ini
(2020)
VI
Panjang Umur
Untuk puisi
Aku lahir dari rahim penyair
dibuai oleh tinta-tinta air mata
menua bersama waktu dan kesunyian
bertengadah dalam semburat
mulut-mulut berspektrum isya eat
menyala disaat aku terbuat
dan redup disaat aku tak lagi that
Aku adalah pelarian orang-orang
sakit hati, kesepian dan kerinduan
Aku selalu membagi tubuhku
menjadi sajak demi sajak
Imaji demi imaji
untuk jalan yang tak berjarak
unttuk setiap yang berderak
dikeabadian
Barangkali, namaku
adalah puisi
Yogyakarta, 28 April 2020.
VII
Isra’ Mi’raj;
Ra Ja Ba
Ra/
Sang pembawa lentera akhir zaman
Melanglang-buana di pesisir maupun di kota
Ja/
Lebih setia dari kirik-kirik
Tak pernah menjilat kepada tuannya.
Ba/
Tanpa sepatu kuda
Ia berlari menghampiri sang pembawa lentera
Menghantarkannya bertemu sang pendahulu
Sekaligus Raja dari segala Raja
(2020)
VIII
Mandi
Bulan merasa dirinya kotor;
Bermandikan air suci
dari pantai selatan
Tuk menyambut dirinya sendiri
Dengan seribu lilin
Bulan uzlah dari langit
Bersujud bersama arunika dan swastamita
Hendak menghadapNya
O, tuhan apakah aku akan selamanya cerlang,
Jika meluruhkan diriku sendiri?
(2020)
Tentang penulis
Syamsul Bahri, lahir di Subang 12 Juli 1995. Seorang guru dan penulis puisi di salah
satu lembaga Yogyakarta. Ia alumni di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Alumni
Bengkel Teater Rendra dan menjadi pegiat Komunitas Seni Budaya (KSB) UNY di Yogyakarta.
Sajak-sajaknya tersiar di pelbegai platform: Travesia, Penakota.id, Difanews dll.
Salah satu puisinya termuat dalam antologi bersama, antara lain: Carpe diem (Penerbit Halaman
Indonesia, 2020) Surel :syamsulb725@gmail.com. @syamsulbahri_1922. Wa: 082138096686
0 Komentar