Sejarah Sosial Masyarakat Perkebunan di Deli (1870-1945)

RESENSI BUKU
Judul :Sejarah Sosial Masyarakat Perkebunan di Deli (1870-1945)
Penulis : Hokkop Fritles Nababan
Ukuran : 14 x 21 cm
Tebal    : 184  halaman
ISBN    : 978-623-91096-7-7
Terbit    : Juli 2019
Harga  : Rp 80000
Penerbit : Guepedia, Jakarta

Ringkasan buku : 
Buku ini adalah buku yang diadopsi lansung dari skripsi penulis yang diterbikan menjadi sebuah buku. Buku ini membahas tentang kehidupan sosial masyarakat perkebunan yang ada di Deli pada zaman kolonial Belanda. Pada zaman ini, pembukaan lahan baru perkebunan sangat masif terjadi di daerah Sumatera timur. 

Seiring dengan semakin luasnya perkebunan, kebutuhan akan tenaga kerja semakin meningkat. Untuk mengatasi masalah ini, maka para pemilik perkebunan mendatangkan  buruh dari Cina dan Singapura dan menyusul kemudian buruh dari Jawa. Pendatangan buruh dari luar dilakukan karena masyarakat asli Deli sangat enggan menjadi buruh di dalam perkebunan. Para masyarakat yang datang dari luar ini kemudian membentuk tatanan masyarakat baru, yang disebut sebagai masyarakat perkebunan.

Migrasi para kuli ke dalam perkebunan Deli telah membentuk sebuah tatanan masyarakat baru yang disebut masyarakat perkebunan. Masyarakat ini hidup lewat aturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda dan aturan pemilik perkebunan. masyarakat ini hidup di dalam perkebunan dengan rutinitas bekerja selama 10 jam dalam sehari. Kehidupan sosial mereka hanya dihabiskan di dalam perkebunan karena kebijakan-kebijakan yang ketat dari para pengusaha perkebunan.

Masyarakat perkebunan pada dasarnya sama seperti masyarakat pada umumnya, memiliki norma, interaksi dan proses-proses sosial, namun kehidupan mereka sangat unik, karena kehidupan sosial dipengaruhi oleh jabatan dan warna kulit, artinya struktur dan fungsi setiap individu dalam masyarakat perkebunan ditentukan oleh jabatannya dan juga warna kulit. Sehingga perkebunan memiliki struktur masyarakat dengan hierarkis yang sangat tajam. Perkebunan juga menjadi ladang yang sangat subur bagi lahirnya rasialisme.

Hierarki yang sangat tajam ini diakibatkan aturan-aturan di dalam perkebunan yang sangat ketat bahkan cenderung memperbudak kaum kuli. Hal ini terlihat dari kesemena-menaan para pengusaha perkebunan dan para anggotanya untuk menghukum kuli yang dianggap melawan, malas bekerja atau bahkan keluar dan lari dari perkebunan. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pihak pemilik perkebunan selalu membawa kerugian bagi para kuli. Seperti pengupahan, perumahan yang tidak memadai, pelayanan kesehatan yang tidak baik.

Sebagai sebuah ikatan masyarakat, para kuli juga memiliki interaksi sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Karena susahnya perizinan untuk keluar dari perkebunan, maka masyarakat perkebunan lebuh banyak melakukan interaksi sosial dengan sesama kuli di lingkungan pekerjaan dan bangsal-bangsal. Hanya pada saat hari gajian saja keramaian akan ada di dalam perkebunan karena kehadiran para pedagang, para pembuka tikar-tikar judi, dan para pemain gamelan dan ronggeng. Gamelan merupakan sebuah kebudayaan Jawa yang masih eksis di perkebunan hingga hari ini. 

Seperti masyarakat pada umumnya, masyarakat perkebunan juga memiliki masalah-masalah sosial. Masalah-masalah sosial yang dihadapi lebih beragam. Masalah sosial yang dihadapi adalah pelacuran atau prostitusi, perjudian, dan kriminalitas yang sangat tinggi. Masalah-masalah ini hadir sebagai akibat dari kehidupan di dalam perkebunan yang sangat keras dan liar.
Masalah prostitusi merupakan masalah yang paling unik terjadi di dalam perkebunan. Jumlah perempuan yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan pria di awal pembukaan perkebunan menjadi salah satu faktor lahirnya prostitusi. Setiap perempuan yang menjadi kuli di perkebunan adalah pelacur atau terpaksa menjadi pelacur. Hal ini karena dalam perkebunan tidak ada perkawinan, setiap perempuan bisa dipindah tangankan seperti sebuah komoditas jualan. Para wanita juga memilih sebagai pelacur karena gaji untuk wanita sangat kecil. Prostitusi juga telah menjadi penyebab utama berkembangnya penyakit menular seksual yang terjadi di dalam perkebunan.

Masalah lain yang muncul di dalam masyarakat perkebunan adalah masalah perjudian. Perjudian merupakan hiburan bagi masyarakat perkebunan.  setiap hari gajian maka tikar-tikar judi dibuka, banyak kuli yang menghabiskan uangnya pada permainan judi. Setelah kehabisan uang, para kuli akan meminjam dari para pemilik perkebunan, hal ini mengakibatkan mereka tidak bisa keluar dari perkebunan karena masih terlilit utang, sehingga dengan terpaksa harus memperpanjang kontrak sebagai kuli di perkebunan.

Masyarakat perkebunan adalah masyarakat yang liar. Masyarakat perkebunan banyak melakukan tindakan kekerasan dan kriminalitas. Kekerasan sering muncul sebagai akibat dari perlakuan berlebihan dari para mandor atau pemilik perkebunan, sehingga para kuli melakukan penyerangan kepada para mandor sebagai wujud dari balas dendam. Namun kekerasan dan perkelahian juga sering terjadi antar sesama kuli karena disebabkan berbagai hal seperti perebutan perempuan. Masalah-masalah sosial ini merupakan hal yang sangat sering terjadi dalam setiap proses kehidupan masyarakat di perkebunan.

Posting Komentar

0 Komentar