Engkau dan Puisi Tengah Malam

Ilustrator : Setelah Koma



*Jatidua

Kira-kira tengah malam di hari Sabtu, kau masih membaca puisimu yang kesekian. Sudah baik, beberapa kawanmu memaklumimu sebagai manusia yang pantas diberi ruang apresiasi hingga mereka berhasil menjadi munafik, memujimu setiap kali kau selesai menyebut akhir kata, lalu berpura-pura bertepuk tangan padahal sebenarnya mereka juga jenuh. Dan aku yang setiap kali memperhatikanmu sebagai pria lajang kurus, berbaju usang, berambut gondrong, miskin dan tidak menarik, hanya mengikuti sorot matamu dari sini, ditempat kau tak bisa melihatku. Kau hanya menganggapku ada, sekilas saja. Pun, kadang kau mengusirku dengan kakimu. 

Beberapa hari ini,kau tampak tidak singgah ke tempat ini. Tak ada puisi, tak ada anggur merah. Tak ada balada, tak ada rokok surya. Kursi kayu yang sering kau tempati di dekat bar juga kosong, tak ada siapapun yang menggantikanmu disana. Tempat ini pun tutup lebih awal daripada jam jamuanmu. Rembulan pun mengikuti ketiadaanmu, yang bagiku adalah sebagai sebuah keasingan. Terakhir kali aku melihatmu, sebelum kau konser puisi, tepatlah sabtu lalu. 

Namun sebelumnya, aku juga melihatmu. Sepertinya kau sedang tidak baik-baik saja, terlihat dari wajahmu yang bonyok, bibirmu bengkak, dan kau tertatih kesakitan.

“ kau seharusnya tidak ikut-ikutan, bon.” kata seorang temanmu sembari memeras kompres es dari handuk cokelat.
“ ah percuma kau mengingatkannya, wan. Tiada guna.” sambung temanmu yang lainnya dengan ketus.

 Kau tampak diam, meringis, dan sesekali mengeluarkan umpatan sembari menyebut nama seseorang dengan samar-samar. Tak pernah kulihat kau bergetar seperti itu, sebab biasanya kau adalah makhluk paling bersemangat dan bergairah yang kukenal sepanjang usiaku. Tapi dari pembicaraan mereka, sepertinya soal cinta dan tetek bengeknya.

****

Sehari sebelumnya…
Waktu perutku keroncongan dan mataku biram akibat bertarung dengan rekan sejawatku. Kau saat itu juga sama sepertiku, kelaparan dan pucat pasi,duduk sendiri dengan tumpukan kertas di meja bundar kecil, juga segelas air putih. Kau membuka bungkusan nasi, lalu dengan lahap mulutmu mengunyah nasi, sayur dan ikan. Aku menatapmu, memelas dan sesekali merengek padamu. Kau awalnya tak terusik, membuatku semakin mendekat dan berdiri didekatmu. 

Aku merengek lagi. Dan kali ini lebih kuat.
Kau menatapku, berhenti mengunyah, lalu mengabaikanku sebentar dan lanjut makan lagi. Lalu kemudian, aku tak putus asa, mengangkat kepalaku dan berharap kau melirikku lagi. Kali ini , ku beranikan melompat ke atas meja. Kita pun bertatapan. Lama. Kau berhenti mengunyah, lalu memotong separuh badan ikan lalu menyodorkannya pada muncungku. Dengan yakin, kuterima paruh ikan itu dengan santun, lalu turun dari atas meja. Akhirnya aku makan, pikirku. 

Beberapa orang yang bagiku asing, datang kesini. Mereka sekitar lima orang, semuanya laki-laki. Tak lama kemudian, kau berdiri dan menghentakkan tanganmu ke atas meja. Secepat kilat aku berlari karena kaget, dengan sisa tulang ikan kuselip di mulutku. Mereka memaki-makimu dengan segala jenis umpatan ala manusia, sebagai satu-satunya cara untuk menunjukkan kegagahan manusia yang bagaimanapun itu sangat kubenci. Aku prihatin denganmu. Seseorang bertubuh tegap menarik kerah kemeja usangmu, lalu mengepalkan tangan kanannya, hampir meninju hidung mancungmu sesaat seketika seorang gadis datang dari arah lain.

“ eh, pergi kau sana! Jangan buat keributan disini.” seru gadis tersebut.
“ kau jangan lagi dekat-dekat dengan si bodoh ini! Paham kau?” bentak laki-laki yang hendak memukulmu.
“ aku berhak atas diriku. Jadi pergilah. Aku tak mau kau ganggu dia!” jawab gadis itu membela dirimu yang tegang dan bergetaran dengan mulut masih berisi nasi.

Laki-laki itu langsung melepaskan tangannya, kemudian menampar gadis itu keras di kerumunan orang. Saat itu, si gadis berteriak memaki, beberapa orang berhamburan mengusir kawanan pengusik yang terlibat konflik denganmu, lalu aku melihatmu memunguti nasi-nasi berserakan di meja. Dan si gadis, terlihat berbisik padamu seraya menyentuh pundakmu. Tatapannya penuh cinta padamu, derai air mata yang turun semakin meyakinkanku bahwa dia adalah inspirasi yang kau tuliskan dalam sajak-sajak liarmu. Berarti dialah yang kau sebut-sebut berulang kali di seperempat sadarmu atau separuh nafasmu yang terengah-engah.

***
Tepat tengah malam, gerimis tipis, pukul satu pagi, kau hadir lagi disini.
Diantara kerumunan orang-orang, kau tetap duduk di kursi sudutmu, mengepulkan asap rokok dan meniupnya ke seluruh udara. Sebagian wajahmu robek dan bibirmu bonyok, darah mengalir di kernyitan dahimu yang berpikir. 

Orang-orang tepuk tangan. Sebagian membawa beberapa kuntum mawar, membaca puisi karya-karyamu, setelahnya ada mendung dimata mereka, yang terpenting di mata gadis yang mencintaimu. Ia bacakan sebuah puisi dengan terisak air mata, parau suaranya menambah isak tangis di antara orang-orang yang berada disekitarmu. 
Kau menangis lirih. Tubuhmu sampai bergetar di sudut sana.

Kira-kira beginilah puisimu.

Dari hutan turun ke lembah, aku selalu bersamamu.
Dari lembah turun ke lautan, aku masih bersamamu.
Dari lautan ke daratan, aku tetap bersamamu.
Dari daratan ke alam baka, aku pun tetap bersamamu.

Riuh tepuk tangan, doa dan asa menyertaimu di tempat kau sering membacakan bait-baitmu yang kini berpulang, bersama kepulanganmu di pangkuan ilahi. Semua orang disana, termasuk gadis itu, meletakkan mawar-mawar di bawah bingkai foto yang berisi wajahmu. Aku kemudian mencuri pandang ke sudut tempat kau duduk tadi, namun kau tiada,

 Lampu pun mati seketika. Semua orang berteriak.




Posting Komentar

1 Komentar