Medan,
Sebuah film yang disutradarai siswa SMA di Kota Medan berhasil meraih predikat Film Dokumenter Terbaik untuk Katagori Pelajar pada Festival Film Dokumenter Budi Luhur 2021. Film berjudul Xie (Menulis) dan berdurasi 09:59 menit tersebut adalah karya Kendy Chandra, siswa kelas 2 SMA Bangun Insan Mandiri (BIM) Medan.
“Malam penganugerahan sendiri sudah digelar secara daring dan live youtube pada 18 Februari 2022 kemarin. Dan kami sangat terharu dan bangga ketika juri menyebut Film Xie sebagai film terbaik,” kata Kendy kepada wartawan di Medan, Selasa (22/2). Kendy didampingi tim produksi: Supervisor Andy Siahaan yang juga pengajar cinematography di SMA BIM Medan dan kameramen Kevin Chandra. Selain sutradara, Kendy juga merangkap produser, kameramen dan editor.
Festival Film Dokumenter Budi Luhur 2021 mengangkat tema Kerifan Lokal. Isu ini menjadi relevan dengan apa yang ingin disampaikan di Film Xie. Film ini berkisah tentang Kendy Chandra, seorang pelajar yang sedang berlatih kaligrafi. Dan untuk pertama kalinya, ia ingin membuat puisi tentang keluarganya.
Kendy mencoba mencari inspirasi untuk bahan tulisannya, terutama tentang asas kekeluargaan dan nilai budaya dari perayaan Onde-Onde, bahasa Khek yang unik dan langka yang masih dipakai keluarganya dan kebiasaan atau pantangan yang terdengar absurd dan berlebihan. Kendy mengutip setiap kalimat, lalu menuangkannya dalam bentuk kaligrafi beraksara Hokien.
Budaya makan Onde Onde pada suku Hokien dilakukan pada acara tertentu dan saat syukuran. Scene makan Onde Onde pada Film Xie hanya sebagai penguat bahwa keluarga Kendy Chandra masih tetap menjaga nilai-nilai budaya pada tiap sisi kehidupan. Di sisi lain, bahasa Khek dinilai unik dan langka karena, menurut penuturan kakek Kendy (peran dalam film), bahwa dahulu jalur masuk Suku Khek (Tionghoa) itu melalui Aceh dan wilayah Aceh tidak begitu terkenal dibanding suku Hokien yang masuk melalui Sumatera Utara yang dikenal sebagai pusat perdagangan pada masa itu. Itu membuat orang Tionghoa pada umumnya memilih bahasa Hokien untuk bergaul. Di daerah asalnya pun (China), bahasa Hokien lebih populer daripada bahasa Khek. Pada Film Xie, bahasa Khek ada diucapkan oleh kakek Kendy ketika berbicara kepada ayah dan Kendy. Dialog Khek hadir dalam film sebagai penguat bahwa keluarga besar Kendy masih melestarikan nilai budaya mereka.
“Ide film ini menjadi penting diangkat karena kaligrafi dianggap suatu nilai budaya yang tidak menarik dan pelaku tulisan kaligrafi hanya dikuasai beberapa orang saja. Melalui film ini diharapkan generasi muda mulai menyadari betapa pentingnya melestarikan tulisan kaligrafi sebagai jejak budaya,” kata Kendy menjelaskan.
Di balik semua itu, lanjut Kendy, ada pesan moral di film yang ditampilkan pada tiap scene quote tulisan kaligrafi, seperti sikap saling menghormati antar anggota keluarga terlebih kepada orangtua, yang direpresentasikan pada quote: "apa yang ayah suka kalian tidak suka, apa yang kalian suka ayah tidak suka (makanan)", "barang yang berulang ulang rusak sudah perlu diganti baru", "perbuatan baik akan mengimbangi perbuatan jahat" dan "jangan berniat mencelakai orang lain sekalipun dia pencuri".
Sejak pendaftaran dibuka 13 September 2021 sampai 5 Januari 2022, terdapat sebanyak 180 film dari seluruh Indonesia yang diterima panitia, dengan rincian 34 film dokumenter pendek katagori umum, 62 film dokumenter pendek katagori mahasiswa dan 31 film dokumenter pendek katagori pelajar. Film Xie sendiri memakan waktu 3 bulan proses produksi, dengan 4 lokasi shooting diantaranya rumah Kendy, rumah nenek, rumah kakek dan Tjong AFI mansion Medan. Dari 31 peserta katagori pelajar, Sekolah BIM Medan menjadi satu-satunya perwakilan Sumatera Utara yang ikut di ajang ini.
“Film Xie sedang tayang di web dan aplikasi genflix, mulai 21 Februari 2022 sampai 21 September 2022. Silakan bagi masyarakat yang ingin menonton untuk mengaksesnya,” ujar Kendy.
Kendy berharap ke depan melalui film ini kesadaran akan pelestarian nilai budaya akan bangkit demi terjaganya jejak peradaban. “Saya juga berharap mendapat kesempatan untuk membawa film ini jauh ke festival-festival film, supaya semakin luas jangkauan penontonnya serta semakin banyak pula orang yang tersadarkan,” tandasnya.
Sebagai supervisor, Andy Siahaan melihat semangat yang ada pada Kendy dalam melestarikan tulisan kaligrafi dan bahasa Khek perlu tetap dijaga dengan tetap diberi ruang untuk mengeksplorasi.
“Saya berpendapat bahwa Film Xie memiliki nilai plus di banding peserta lainnya karena isu yang dibawa merupakan hal baru di ajang festival film. Dan cara bertutur observasional dengan alur cerita maju-mundur juga merupakan satu-satunya metode yang digarap film ini, sementara peserta lain menggunakan ekspository. Hal ini yang membuat Film Xie berbeda dari yang lain," kata Andy, pengurus Asosiasi Dokumenteris Nusantara (ADN) Korda Medan ini.*
0 Komentar