Mewarisi Benci Tanpa Pengertian


Oleh: Juang Enam
Suatu ketika di sebuah kelas perkuliahan, saya dikejutkan oleh pernyataan Dosen saya. “Komunisme sudah mulai masuk kembali melalui isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM)” kata sang Dosen. Lidah saya seketika kelu. Tak mampu menjawab, tak juga berkata apa-apa. Keterkejutan saya kian bertambah mengingat sang Dosen mengampu mata kuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia. 
Selang beberapa waktu, setelah kelas bubar, saya menceritakan hal ini pada beberapa orang teman. “Kenapa tidak kau tanggapi dengan argumen?” kata salah seorang teman. “Takut nilai saya jeblok” jawab saya jujur. Ya, saya takut tidak diluluskan sang Dosen. Betapa pengecutnya saya. 
Dari pengantar di atas, sudah kelihatan bahwa saya jelas-jelas tidak sependapat dengan perkataan Dosen saya itu. Entah logika seperti apa yang ia pakai. Persis narasi ketakutan plus kebencian yang kerap dikumandangkan oleh barisan-barisan anti Partai Komunis Indonesia (PKI). Narasi tak beraturan yang mencari-cari celah untuk membenci. 
Mari mulai dari pernyataan Dosen di atas. Isu HAM seperti apa yang dia maksud? Bagaimana bisa dia mengidentifikasi adanya ajaran-ajaran paham Komunisme dalam isu-isu HAM tersebut? Sebegitu identikkah HAM dengan Komunisme? Maaf, saya kira sejarah mencatat bagaimana negara-negara Komunis berkawan baik dengan serentetan pembantaian manusia. Lalu apa? Apa yang telah mengantarkan Dosen saya itu serta orang-orang seperti dia, pada logika semacam itu? Jawabnya ialah kebencian yang telah mengakar kuat. Ketika kebencian pada segala hal berbau PKI sudah mengakar, maka terhadap segala sesuatu yang bersinggungan dengan PKI, para pembenci ini akan berpretensi bahwa PKI telah bangkit dan bersiap menghancurkan NKRI. Jadi, memang tak perlu argumen. Mereka hanya butuh kebencian. 


Namun, yang sangat disayangkan dari tuduhan-tuduhan tak berdasar ini ialah; terhambatnya rekonsiliasi dan kemajuan peradaban. Bagaimana tidak? Pengungkapan kejahatan negara masih dianggap sebagai indikasi kebangkitan PKI. Perjuangan korban pelanggaran HAM masih dianggap sebagai indikasi kebangkitan PKI. Penulisan-penulisan sejarah dalam ranah akademik masih dianggap sebagai indikasi kebangkitan PKI. Lagu Genjer-Genjer masih distigma sebagai lagu PKI. Kiri masih dianggap PKI. Progresif makin dianggap PKI. Lantas, indikasi kemajuan Republik ini seperti apa? Korupsi? Konspirasi? Pemberangusan kebebasan? Perampasan buku? Intervensi kebebasan akademik? 
Entahlah, mungkin orang-orang yang selalu dibayang-bayangi “Hantu Komunis” itu sudah tak lagi peduli pada rekonsiliasi, apalagi kemajuan. Lebih penting bagi mereka untuk setiap saat memastikan bahwa PKI sudah mati dan tak akan bangkit lagi. Sesuatu yang kemudian diekspresikan dengan cara-cara simbolis. Membakar bendera serta lambang-lambang PKI yang mereka cetak sendiri, misalnya.  
Hal lain yang juga sangat disayangkan adalah absennya negara, dalam hal ini pemerintah, dalam setiap konfrontasi yang dipicu oleh sentimen komunis. Seakan konfrontasi tersebut sekadar konflik horizontal, masyarakat anti-komunis berhadap-hadapan dengan masyarakat yang “dikira” komunis. Dan oleh ketidakhadiran pemerintah itu pula, label “dikira komunis” saja sudah cukup sebagai legitimasi terhadap persekusi. Akibatnya, konflik horizontal berbasis kecurigaan tanpa dasar kian langgeng antar sesama masyarakat. Satu lagi juga langgeng ialah; amnesia bahwa masyarakat sesungguhnya punya hubungan vertikal dengan negara (pemerintah) yang berkewajiban mengelola konflik serta menjamin kebebasan masyarakatnya. 

Posting Komentar

0 Komentar